Manchester City kehilangan penyerang terbaik mereka Nikita Parris ke Olympique Lyon. Setelah mencetak 22 gol di Women’s Super League 2018/2019, the Citizens kehilangan Parris secara cuma-cuma karena ia memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya di Manchester.
Melihat kepindahan Parris adalah sesuatu yang aneh jika membandingkan kondisi kedua klub di sepakbola pria. Mungkin hanya Jason Denayer yang berani meninggalkan Etihad Stadium untuk Lyon. Itu pun karena dirinya kurang mendapatkan kesempatan bermain.
Kondisi Denayer berbeda dengan Parris yang merupakan andalan klub. Tapi ketika Lyon datang, ia dengan mudah meninggalkan Manchester City. “Saat Lyon datang memanggil, Anda tidak bisa berkata tidak,” aku Parris mengungkapkan alasannya hengkang.
Pernyataan seperti itu biasanya keluar dari mulut pemain yang didaratkan Real Madrid atau Barcelona. Bagaimana Olympique Lyon bisa menjadi raksasa sepakbola perempuan adalah cerita yang unik, jika tidak penuh inspirasi.
Lyon tercatat sebagai peraih gelar divisi utama terbanyak (12) dan menjuarai Liga Champions empat kali berturut-turut. Terakhir, mereka mengalahkan Barcelona 4-1 di Groupama Arena, Budapest.
Mereka memang layak disetarakan dengan Real Madrid ataupun Barcelona. Ada Hegerberg, peraih penghargaan Ballon d’Or 2018 juga berasal dari Les Fenottes. Piala, gelar individu, semua merupakan hasil dari keseriusan orang-orang di dalam klub itu sendiri.
Keuntungan adalah Buah Keseriusan
Foto: La Croix
Saat Sekretaris Jendral PSSI Ratu Tisha meminta peserta Liga 1 membuat tim sepakbola perempuan untuk Galanita Baru, keraguan muncul dari beberapa investor klub. “Apakah sepakbola perempuan menguntungkan?,” tanya mereka.
Melihat iklim sepakbola pria di Indonesia yang masih meninggalkan banyak celah, jawaban dari pertanyaan itu jelas tidak. Jika mengurus sesuatu yang sudah pasti ‘menguntungkan’ saja gagal, bagaimana mereka bisa berjudi untuk sepakbola perempuan?
Bukan salah para investor meragukan sepakbola perempuan bisa hidup di Indonesia. Pasalnya, di Eropa saja sepakbola perempuan masih menjadi tanya tanya besar. Real Madrid selalu menunda peresmian kesebelasan perempuan mereka karena keraguan serupa.
Memasuki 2019, klub-klub Eropa mulai terlihat serius membangun sepakbola perempuan. Apapun alasannya, semua berasal dari tekanan. Lyon tidak mendapatkan tekanan tersebut. Mereka mungkin justru jadi pihak penekan yang meminta klub lainnya untuk lebih serius.
Berbeda dengan kebanyakan klub, Lyon adalah pihak yang mendukung kesetaraan. Hal itu tidak hanya berlaku untuk gaji pemain. Tapi juga fasilitas dan menu latihan. “Semua sama, entah itu lapangan, ataupun ruangan fisioterapi. Perempuan dan laki-laki berlatih dengan fasilitas yang sama,” kata Kepala Akademi Lyon Sonia Bompastor.
Masalah Mendasar
Foto: DFB
“Perempuan di Prancis dibentuk untuk memiliki rasa percaya diri yang minim. Diminta untuk tampil feminim dan menonjolkan sesuatu yang tidak dimiliki pria. Kami mengubah mental tersebut dengan memperlakukan mereka sama dengan para pria,” lanjutnya.
Hasilnya, rasa hormat itu didapat oleh pemain-pemain Lyon Feminin. Mereka adalah bagian klub dan tidak lebih rendah atau tinggi dibandingkan para pemain pria. “Ketika Anda bicara soal Lyon, kita semua satu. Tidak ada yang membedakan tim perempuan dan pria,” ungkap bek asal Jerman, Carolin Simon.
Lyon merupakan tempat di mana pemain-pemain ternama seperti Karim Benzema, Michael Essien, serta Nabil Fekir bersinar dan mendapat pengakuan dunia. Saat Lyon memberikan perlakuan yang sama kepada para pemain perempuan mereka, wajar prestasi datang.
Tidak ada klub sepakbola yang lebih serius membangun tim sepakbola perempuan daripada Lyon. Jika ada, mereka juga terinspirasi dari Lyon. “Mata saya terbuka saat melawan Lyon. Mereka main di stadion besar, penuh dengan dukungan suporter. Mereka ada di level yang berbeda,” aku bek tim nasional Inggris, Lucy Bronze.
Masalah Uang
Foto: Sky Sports
Gaji pesepakbola perempuan mungkin belum dapat mendekati pemain pria. Menurut Four Four Two, Ada Hegerberg adalah pesepakbola perempuan dengan gaji tertinggi di dunia. Mendapatkan 400 ribu euro per tahun. Itu hanya setara dengan gaji tiga bulan Phil Foden di Manchester City.
Namun Lyon memperlakukan talenta-talenta perempuan mereka setara dengan para pria. Wajar apabila saat Hegerberg berseteru dengan Asosiasi Sepakbola Norwegia (NFF), dirinya mengatakan bahwa masalah utama di sana bukanlah soal uang.
“Masalahnya bukan uang. Tapi bagaimana NFF mempersiapkan sepakbola perempuan dan langkah untuk jadi profesional,” kata Hegerberg.
Terlepas dari prasangka yang diberikan kepada para pesepakbola perempuan, mereka tidak bodoh. “Gaji kami jauh dari pemain pria dan itu wajar. Tapi setidaknya di sini [Lyon], kami mendapat perlakuan yang sama dengan mereka. Itu adalah hal paling berpengaruh,” kata Bronze.
Sepakbola perempuan mungkin sedang gurih di Eropa. Tapi selama mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dan direndahkan, Olympique Lyon akan terus mendominasi dan tidak bisa ditolak.
Sheik Mansour mungkin memiliki uang lebih berlimpah daripada Jean-Michel Aulas. Tapi Aulas berhasil membuat Lyon lebih besar daripada Manchester City di mata Nikita Parris dan Lucy Bronze.