Fulham Sebagai Alasan untuk Mengingat Sejarah

Filsuf Spanyol, George Santaya, pernah berkata, “Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya kemballi.”

Kutipan yang pernah dipopulerkan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, itu berlaku di segala aspek kehidupan. Termasuk sepakbola. Pada 2018/2019, Fulham menjadi salah satu korbannya.

The Cottagers merupakan kesebelasan paling tua di Kota London. Mereka memiliki banyak nilai sejarah. Mulai dari masuk final Piala FA pada 1975 hingga mengalahkan Juventus di UEFA Europa League 2010. Namun kesebelasan yang mempopulerkan nama-nama seperti Louis Saha dan Clint Dempsey ini tengah terpuruk di zona merah Premier League 2018/2019.

Hanya mengoleksi 17 poin dari 31 pertandingan, Fulham hanya unggul dari Huddersfield yang berada di dasar klasemen. Mereka sudah dua kali mengganti nakhoda tim. Namun tidak ada perubahan signifikan di atas lapangan.

Slavisa Jovanovic yang membawa mereka kembali ke Premier League didepak setelah menelan tujuh kekalahan beruntun (29 September – 11 November 2018). Claudio Ranieri diberi waktu selama 17 pertandingan dan ditendang setelah menelan kekalahan di semua laga pada Februari 2019.

Baca juga: Gantikan Di Francesco, AS Roma Tunjuk Claudio Ranieri

Mantan gelandang the Cottagers, Scott Parker ditunjuk sebagai manajer sementara. Tapi sejauh ini, ia juga selalu menelan kekalahan. Kalah 1-2 dari Chelsea, ditekuk Leicester 1-3, dan pada pekan ke-31, dikalahkan Liverpool 1-2.

“Saya bangga dengan para pemain. Sebelum pertandingan saya sudah mengatakan kepada mereka, bahwa musim ini mengecewakan dan kita harus membuat suporter bangga. Lewat penampilan lawan Chelsea tadi, saya punya perasaan hal itu muncul di tribun,” kata Parker usai pertandingan pertamanya sebagai interim.

“Banyak hal positif yang bisa diambil dari pertandingan ini. Lawan kami adalah kesebelasan dengan kemampuan serangan balik terbaik di Eropa. Kami harus bisa tetap fokus dan hal itu dilakukan para pemain. Para pemain memahami apa yang harus mereka lakukan. Saya yakin posisi kami akan membaik,” kata mantan gelandang West Ham usai lawan Liverpool.

Parker mungkin melihat perubahan sikap di tubuh Fulham. Akan tetapi, Aleksandr Mitrovic dan kawan-kawan masih gagal meraih poin. Jangankan tiga, satupun tidak. Padahal meraih poin adalah satu-satunya cara agar mereka bisa lolos dari degradasi.

Baca juga: Gagal Mengangkat Fulham, Claudio Ranieri Dipecat

Salah Gerak Selama Periode Transfer

Foto: Boot Room

Pada dua periode transfer pemain di 2018/2019, Fulham telah menghabiskan dana sekitar 112 juta euro.  Angka itu melebihi pengeluaran Manchester United (82jt), Arsenal (81jt), ataupun Manchester City (77jt). Hanya Chelsea dan Liverpool yang lebih boros dari Fulham di bursa transfer. Tapi jarak mereka di klasemen berbeda jauh.

Sementara Wolverhampton dengan jumlah pengeluaran yang sama dengan Fulham berhasil duduk di peringkat tujuh klasemen sementara dan memiliki peluang untuk menjuarai Piala FA. Mereka mungkin bisa melakukan pengeluaran besar, tapi pemain-pemain yang direkrut mengembalikan investasi tersebut.

“Fulham seharusnya dapat lebih baik lagi memilih pemain. Mereka memiliki manajer yang sudah terbukti tepat dengan membawa klub promosi. Lebih memilih pemain-pemain yang belum terbukti di Premier League. Luciano Vietto, Jean-Michael Sarri, belum pernah main di sini. Schurrle yang punya pengalaman bersama Chelsea justru paling efektif,” jelas mentan kapten Fulham, Danny Murphy.

Dari 15 pemain yang didatangkan Fulham, hanya lima pemain yang pernah main di Premier League sebelumnya. Itu juga termasuk pemain pinjaman seperti Andre Schurrle dan Calum Chambers. Chambers juga dipulangkan ke Arsenal di musim dingin.

Proses adaptasi ini mungkin tidak begitu berpengaruh untuk beberapa pemain. Tapi sudah seharusnya menjadi pertimbangan klub sebelum memberikan kontrak. Saat bursa transfer musim dingin 2019, Wolverhampton hampir mendaratkan penyerang Iran, Sardar Azmoun.

Wolverhampton menghentikan negosiasi dengan Azmoun setelah Rubin Kazan mewajibkan klausul pembelian permanen. Sementara Wolves hanya mau klausul itu jadi opsi. Bukan kewajiban. Alasannya, Azmoun belum terbukti di Premier League. Andai Kazan menjadikan klausul itu sebagai opsi, Azmoun berpeluang diberi kontrak permanen seperti Jonny dan Jota.

Berjudi dengan pemain-pemain yang belum terbiasa dengan kehidupan di Inggris akhirnya membuat Fulham memiliki masalah serupa dengan Sunderland di 2015/2016. Menghabiskan 66,5 juta euro untuk Lamine Kone, Jermaine Lens, dan lain-lain, the Black Cats mengakhiri musim dengan duduk di peringkat 17. Selamat dari degradasi dengan perbedaan dua poin dari Newcastle United.

Melupakan Kekuatan di Championship

Foto: The Sun

Ketika ditangani oleh Jovanovic di Championship 2017/2018, Fulham dikenal sebagai salah satu peserta paling atraktif. Bermain menyerang, menguasai bola, dan terus mengancam lawan. Mereka mengakhiri musim dengan duduk di peringkat tiga sebelum lolos ke Premier League lewat jalur play-off.

Meski dikenal atraktif dan menyerang, ketika itu Fulham juga disokong oleh pertahanan yang kuat. Mereka hanya kebobolan 46 kali sepanjang kompetisi. Duduk di lima teratas dalam masalah pertahanan di Championship 2017/2018.

Pemain-pemain seperti Tomas Kalas, Tim Ream, dan Matt Targett, jadi pemulus serangan the Cottagers di divisi dua Inggris. Sayangnya, Kalas dan Targett hanya berstatus pemain pinjaman. Mereka tidak lagi membela Fulham setelah promosi.

Sementara Tim Ream yang bertahan di Craven Cottage juga harus kehilangan sosok Ryan Fredericks ke West Ham. Beberapa pemain bertahan baru memang didatangkan. Namun, dari enam pemain bertahan yang didatangkan, hanya dua yang pernah merasakan Premier League. Chambers pulang ke Arsenal pada pertengahan musim dan Alfie Mawson, cedera.

Mendatangkan pemain-pemain dengan pengalaman Premier League sejatinya bukan kunci utama untuk bertahan di divisi tertinggi Inggris. Queens Park Rangers pernah memboyong pemain-pemain veteran Inggris saat promosi 2011/2011. Termasuk membeli Bobby Zamora dari Fulham. Akan tetapi mereka juga harus berjuang di papan bawah. Hanya unggul satu poin dari Blackburn yang menduduki peringkat 18 klasemen akhir.

Membangun kesebelasan dari kekuatan terdahulu juga menjadi kuncinya. Leicester City menjadi contoh terbaik untuk hal ini. Ketika Ranieri memberikan the Foxes gelar juara, Tinkerman tak banyak mengubah komposisi dan memaksimalkan kekuatan yang ia miliki. Setelah menjadi juara, mereka mulai berusaha menampilkan permainan ‘sepakbola indah’ tanpa meningkatkan kualitas skuat. Hasilnya performa Jamie Vardy dan kawan-kawan pun menurun.

Menjadi Tumbal Keluarga Khan

Foto: Spoiler Free Wrestling

Kehilangan kekuatan di belakang, Fulham akhirnya gagal mencapai target yang mereka miliki di awal musim. “Kami ingin menjadi tim kuat di Premier League,” kata Tony Khan, anak pemilik Fulham, Shahid, yang juga merangkap sebagai direktur olahraga, general manajer, dan wakil presiden the Cottagers.

Memang butuh waktu untuk jadi kuat. Sialnya dengan selisih 13 poin dari zona aman dan masih harus bertemu Manchester City, Everton, dan Wolves, sulit rasanya melihat Fulham bertahan di Premier League.

Sulit, bukan mustahil. Leicester City pernah mencatat ‘great escape’ pada musim 2014/2015. Bedanya, meskipun duduk di dasar klasemen pada pekan ke-31, perbedaan poin mereka dengan zona aman hanya tiga poin, bukan 13!

Sulit untuk Fulham bangkit. Apalagi Tony sibuk membangun All Elite Wrestling dan Shahid Khan fokus pada Jacksonville Jaguars. The Cottagers pun menjadi tumbal dan terbengkalai karena pemilik kekuasaan di dalam tubuh klub lupa melihat sejarah dan pengalaman dari kesebelasan-kesebelasan terdahulu.