Liga Premier Inggris memasuki pekan keempat. Watford seperti biasanya menjadi kesebelasan kuda hitam, namun kali ini dengan pendekatan dan juga hasil yang berbeda tentunya. Terus menerus ditangani pelatih impor sejak diambil alih dinasti Pozzo, yakni sebanyak tujuh pergantian pelatih kepala. Kini di bawah asuhan Javi Gracia mereka menjadi buah bibir dengan pendekatan formasi klasik 4-4-2.
Ada apa dengan 4-4-2? Apa yang membuat mereka ramai diperbincangkan? Di tengah tren pelatih impor, kebanyakan berkiblat dengan sepakbola indah a la Spanyol. Tentu gaya ini berkembang karena banyak dari mereka adalah pelatih asal Spanyol atau sebelumnya lama berkelana di negeri Matador. Kita bisa sebut nama Pep Guardiola, Manuel Pellegrini, Rafael Benitez, bahkan beberapa pelatih di Divisi Championship pin tak luput dari sentuhan Spanyol.
Hal ini mengakibatkan 4-4-2 yang sebelumnya identik dengan sepakbola Inggris perlahan memudar. Mungkin bisa dikatakan pelestari formasi 4-4-2 di Premier League adalah manajer asli Britania seperti Sean Dyche (Burnley), Chris Houghton (Brighton), Neil Warnock (Cardiff), Roy Hodgson (Crystal Palace), dan Mark Hughes (Southampton).
Javi Gracia memang lain. Tren formasi 3 penyerang dan variasinya seperti 4-3-3 atau 4-3-2-1 yang lumrah digunakan pelatih-pelatih senegaranya tak lantas membuat Gracia menggunakan formasi serupa. Javi Gracia merupakan fans dari formasi ‘klasik’ 4-4-2 yang kemudian membuat namanya terangkat bersama Watford di musim ini.
Baca juga: Memahami Keputusan Thierry Henry Menolak Bordeaux
Peran Vital (Inverted) Wide Midfielder
Dengan formasi 4-4-2- nya, Gracia tidak memainkan pemain sayap klasik konvensional yang giat menyisir lapangan lalu melepaskan umpan silang di pojok lapang, melainkan wide midfielder. Peran wide midfielder ini sebenarnya tidak jauh berbeda seperti gelandang tengah yang wajib memiliki kemampuan passing mumpuni, visi yang brilian, serta kemampuan bertahan yang sama baiknya.
Watford memiliki gelandang berbakat Will Hughes yang menjalankan peran ini bersama Roberto Pereyra. Hughes digadang-gadang sebagai salah satu gelandang masa depan Inggris berkat teknik dan visi bermainnya. Tak heran, gaya bermain Hughes yang amat visioner ini terpengaruh dari diolanya, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez. Urusan defensif dari eks gelandang Derby County ini juga tak bisa dianggap remeh. Ia mencatatkan rataan 4,3 tekel per laga alias kedua terbaik setelah Idrissa Gueye dari Everton dengan 4,7 tekel per laga.
Sementara itu peran kompatriotnya, Roberto Pereyra bisa dibilang memiliki tugas untuk bermain lebih lebih ofensif. Gelandang timnas Argentina ini akan masuk ke posisi belakang penyerang saat transisi menyerang. Dalam 4 laga yang dijalani, Pereyra berhasil mencetak 3 gol.
Didukung Bek Sayap Dinamis
Hal yang menarik juga bisa dilihat dari peran kedua bek sayap mereka, yakni Daryl Jaanmat dan Jose Holebas. Keduanya akan aktif di tiga perempat lapangan untuk membantu keempat pemain yang berada di posisi lebih dalam.
Daryl Janmaat bahkan terlihat beberapa kali bermain masuk kedalam dengan tidak melakukan hugging the line untuk membantu gelandang atau memainkan peran inverted wing back. Lain dengan Holebas. Bek sayap gaek timnas Yunani sejauh ini tampil memukau dengan 4 asis hingga pekan keempat, sejajar dengan raihan asis Benjamin Mendy dari Manchester City.
Bukan tanpa alasan Watford memasang duet Andre Gray dan Troy Deeney sebagai dua ujung tombak. Gray yang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan akan berfungsi untuk menarik pemain bertahan lawan sehingga gelandang melebar (wide midfielder) mereka bisa melakukan penetrasi ke area penalti.
Troy Deeney yang dikenal sebagai predator dengan kelebihan postur tubuh kekar dan juga finisher andal akan memanfaatkan situasi. Keduanya juga bisa menahan bola atas dan memberi ruang kepada gelandangnya untuk masuk. Seringkali juga kedua striker Watford bermain lebih melebar demi membuka ruang kedua wide midfielder mereka untuk masuk kedalam kotak. Sehingga, dalam strategi yang cenderung fluid ini, kerjasama tim adalah hal mutlak.
Lalu, bagaimana jika kedua penyerang mereka terkurung didalam kawalan lawan? Sejauh ini, Gracia memakai kedua wide midfielder-nya yang bertipikal gelandang serang untuk lebih kreatif dan menerobos kedalam. Maka tak heran, peran tersebut menjadi sangat vital bagi strategi yang diterapkan oleh Gracia.
Uniknya, Gracia menempatkan Pereyra yang kuat di kaki kanan dan Hughes yang berkaki kiri di posisi berlainan. Sehingga mereka berdua juga bisa dikatakan memiliki peran inverted winger. Pada akhrnya 4-4-2 yang berada di atas kertas, akan berubah menjadi formasi 2-3-3-2.
Dalam situasi serangan balik, otomatis Watford melakukan ‘perjudian’ dengan meninggalkan hanya dua gelandang tengah mereka, Abdoulaye Doucoure dan Ettiene Capoue. Namun dengan teknik dan fisik kedua pemain ini, rasanya bisa dimengerti mengapa Gracia berani melakukan pendekatan taktik yang cenderung berisiko tinggi.
Saat tren pressing ketat sedang mencuat, justru Watford tidak memainkan pressing yang terlalu ketat selain di area pertahanan sendiri. Malah, Gracia melakukan pendekatan yang lagi-lagi berbeda. Para pemain Watford, terutama para gelandangnya terlihat tidak terlalu ketat dalam menjaga pressing terhadap lawan.
Mereka nantinya akan menekan dan menggiring lawan ke area yang mengharuskan musuh untuk melakukan operan panjang. Selanjutnya pemain Watford akan melakukan duel udara dengan pemain lawan. Sejauh ini strategi ini berbuah manis. Karena terbukti Watford memiliki raihan intersep tertinggi kedua di Premier League dengan 16,3 per laga dan 23 aerials won per game. (data dikutip whoscored)
Kedua bek tengah juga nantinya sesekali akan melakukan build up play dengan menempatkan operan panjang langsung ke depan atau bermain lebih direct.
Sejauh ini, hasil positif mampu ditunjukkan Gracia. Dari empat laga yang dijalani The Hornets, mereka mampu menyapu bersih semuanya dengan kemenangan, termasuk yang paling mengejutkan adalah menumbangkan Tottenham Hotspur pada pekan keempat. Kini Watford bersaing dengan Liverpool dan juga Manchester City di posisi 3 besar Premier League.
Sosok Spesial Javi Gracia
Gracia memang menjadi sorotan saat ini. Maklum, Gracia bukanlah nama top dibanding manajer-manajer lain. Bahkan profilnya masih kurang mentereng dibanding pelatih yang ditunjuk GinoPozzo sebelumnya seperti Gianfranco Zola, Quique Flores Sanchez, atau Walter Mazzari.
Pengakuan orang-orang terdekatnya, salah satu kelebihan Gracia adalah sosok yang ‘well planned’. Penggemar formasi 4-4-2 ini tahu bagaimana sebuah taktik bekerja, berikut detail-detailnya. Rekan Gracia semasa bermain di Real Sociedad, Darko Kovacevic salah satunya. Eks striker Lazio tersebut menyetarakan Gracia dengan sosok Diego Simeone.
“Dia selalu berbicara, mengoreksi, meng-organize. Dia memahami mekanismenya, secara taktis dia tajam, seorang pemimpin. Terkadang, seperti halnya dengan Diego Simeone semasa bermain di Lazio, Anda tahu mereka memiliki sesuatu. Javi (juga) memilikinya. Saya memiliki banyak keyakinan dalam kemampuannya.” ujar Kovecevic seperti dikutip dari Guardian.
Pasti ada ‘sesuatu’ yang dimiliki oleh Javi Gracia ketika Malaga merekrutnya, padahal Gracia pernah terdegradasi bersama Osasuna. Begitupun Watford yang menunjukknya usai hanya finis di posisi kesembilan bersama tim kuat Rusia, Rubin Kazan di musim sebelumnya.
Memang masih terlalu dini bagi publik untuk menyanjung Gracia, mengingat perjalanan di Premier League masih panjang. Apresiasi pantas ditujukan bagi Gracia, yang mampu ‘menyentil’ manajer top lainnya yang kini malah kesulitan dengan memainkan sepakbola berfilosofi rumit.
Bagi saya, sosok Gracia bersama Watford seperti menjadi sebuah deja vu yang mengingatkan pada sebuah tim di Premier League di 2015 silam. Sama-sama memakai 4-4-2, menjadi buah bibir, dan tak terkalahkan di empat laga awal mereka. Kita tunggu saja bersama.