Kalah 1-2 dari Liverpool di Anfield (31/3), Tottenham Hotspur ada dalam periode terburuk mereka sejak November 2017 dengan hanya mencatat satu kemenangan dari enam pertandingan. Hasil imbang melawan Arsenal merupakan satu-satunya poin yang diraih anak-anak asuh Mauricio Pochettino di lima partai terakhir Premier League mereka.
Kekalahan dari Liverpool itu membuat raihan poin the Lilywhites sama dengan Manchester United dan hanya unggul satu dari Chelsea. Apabila terus seperti ini, bukan tidak mungkin Harry Kane dan kawan-kawan terdepak dari zona Liga Champions. Sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan musim ini. Tidak setelah mendapatkan stadion baru.
“Saat saya mengakuisisi Tottenham, selalu ada keinginan untuk menjadi kesebelasan ini sebagai salah satu pesaing di Eropa. Kemenangan adalah hal yang harus diraih di dalam ataupun luar lapangan. Jelas kami ingin meraih kemenangan,” kata Presiden klub, Daniel Levy.
“Anda harus berpikir seperti kesebelasan besar jika ingin setara dengan Juventus, Bayern Munchen, Real Madrid dan Barcelona. Tottenham tidak dapat hanya menampung 36.000 orang. Kita harus berpikir seperti mereka dan ini [stadion baru] adalah salah satu caranya,” kata Pochettino.
Pochettino bahkan rela tidak berbelanja selama 2018/2019 karena sadar dana pembangunan stadion 100% dari klub. Sayangnya, performa anak-anak asuhnya di lapangan tidak sesuai dengan ambisi yang dimiliki klub.
Dari semua pemain yang diasuh Pochettino, penjaga gawang sekaligus kapten tim, Hugo Lloris menjadi yang paling disorot. Mungkin nama Toby Alderweireld yang tercatat sebagai pencetak gol bunuh diri kontra Liverpool. Namun, kesalahan Lloris adalah alasan utamanya. Pemain asal Prancis itu bahkan sadar bahwa dirinya salah.
“Sebagai penjaga gawang, ada sadar bahwa itu merupakan tanggung jawab Anda. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya berusaha menangkap bola. Tapi bola itu tidak memantul dan langsung mengenai tulang kering Alderweireld,” kata Lloris.
Pochettino masih mempercayakan Lloris di bawah mistar. Bukan hanya untuk musim ini saja tapi juga di masa depan. “Hugo akan tetap menjaga gawang Tottenham. Dia sudah menjadi bagian penting bagi klub ini selama lima tahun dan masih akan berperan besar pada masa depan,” kata Pochettino.
Sayangnya, kepercayaan itu tidak dimiliki suporter the Lilywhites yang sampai membuat petisi untuk melengserkan Lloris. Mantan gelandang Tottenham, Jermaine Jenas, memiliki pandangan yang sama dengan para suporter.
Menulis di BBC, Jenas melihat Lloris sebagai titik lemah Tottenham. Pemain yang telah membuat the Lilywhites merugi di berbagai pertandingan. Bukan hanya saat melawan Liverpool. “Penjaga gawang itu dilihat dari konsistensinya. Bagaimana dia bisa membuat pemain-pemain di depannya merasa tenang dan berkata ‘kita akan baik-baik saja’,” tulis Jenas.
Sejak menjual Gareth Bale pada 2013, Tottenham mendapatkan suntikan dana besar untuk membentuk kekuatan baru. Menurut laporan Transfermarkt, enam tahun sejak Bale pergi, Tottenham sudah membuang lebih dari 400 juta pauns untuk mendatangkan muka-muka baru ke Kota London.
Per April 2019, tinggal empat pemain dari era Bale yang masih membela the Lilywhites: Harry Kane, Danny Rose, Jan Vertonghen, dan Hugo Lloris. Dari empat nama tersebut, Lloris bisa disebut sebagai paling inkonsisten yang dimiliki Tottenham. Bahkan saat ia tercatat sebagai juara dunia sekalipun, masih ada yang meragukan dirinya.
https://www.youtube.com/watch?v=1B8jObdke14
Contoh Liverpool dan Manchester City
Kesalahan Lloris di final Piala Dunia 2018 seharusnya sudah menjadi peringatan untuk Pochettino. Peringatan itu nyatanya diabaikan mantan nakhoda Southampton. Sampai sudah terancam absen di Liga Champions 2019/20 sekalipun, Pochettino masih tidak menerima kenyataan: Lloris adalah liabilitas!
Jika Tottenham benar-benar ingin berpikir seperti kesebelasan sekelas Barcelona dan Real Madrid, mereka harus rela melepas Lloris. Kapten atau bukan, ia harus mulai didepak dari bawah mistar. Setidaknya dipindahkan ke bangku cadangan.
Pochettino tidak perlu melihat jauh-jauh. Liverpool dan Manchester City yang bersaing jadi juara Premier League 2018/2019 dapat tampil konsisten setelah mendapat kenyamanan di lini belakang.
Pep Guardiola mendepak Joe Hart dari Manchester City terlepas dari semua jasa yang telah diberikannya kepada the Citizens. Jurgen Klopp berhasil menjadikan the Reds sebagai salah satu kesebelasan terbaik Inggris lagi setelah mendatangkan Alisson.
Klopp sejatinya punya harapan besar kepada Loris Karius yang ia datangkan dari Mainz. Akan tetapi setelah melihat Karius tidak sesuai standard, ia pun rela mencari penjaga gawang lain.
Pochettino juga harus bisa melakukan hal yang sama dengan dua nakhoda itu. Pasalnya itulah yang dilakukan kesebelasan-kesebelasan ‘besar’. Barcelona berani mendepak Victor Valdes dari Camp Nou. Real Madrid membuang Iker Casillas ke Porto. Juventus pun bisa hidup tanpa Gianluigi Buffon.
Kenapa Tottenham harus mempertahankan Lloris? Bukankah ambisi mereka untuk jadi seperti kesebelasan-kesebelasan di atas?