Untuk ketiga kalinya, Shinji Kagawa pergi meninggalkan Signal Iduna Park. Setelah gagal bersaing dengan Mahmoud Dahoud, Thomas Delaney, dan Mario Goetze, Kagawa dijual ke Real Zaragoza seharga tiga juta Euro. “Shinji [Kagawa] adalah seorang profesional sejati. Borussia Dortmund akan selalu menjadi rumah keduanya. Ia memiliki harapan untuk main di Spanyol dan kami membantu hal itu terwujud,” kata CEO BVB Hans-Joachim Watzke.
Kagawa sebelumnya sudah pernah meninggalkan Dortmund ketika dirinya ditebus dengan 16 juta Euro oleh Manchester United (2012/2013). Namun, karena David Moyes lebih suka memainkan Adnan Januzaj dibandingkan Kagawa, gelandang asal Jepang tersebut kembali ke Dortmund. Ia ditebus dengan dana delapan juta Euro oleh Dortmund.
Pulang ke Signal Iduna Park, Kagawa membuktikan bahwa dirinya belum habis. Dalam dua musim pertamanya sebagai senior, Kagawa merumput 5.000 menit lebih untuk Dortmund. Memberi kontribusi dalam 52 gol dari 79 penampilan.
Cedera pergelangan kaki membuat Kagawa gagal melanjutkan momentum. Lucien Favre yang masuk menggantikan Peter Stöger pun membuang Kagawa ke Besiktas di awal tahun 2019. Meski Dortmund gagal menjuarai 1.Bundesliga 2018/2019, Kagawa memang seperti sudah tidak dibutuhkan. Real Zaragoza yang mengincar tiket promosi ke La Liga kemudian menampung jasa mantan pemain Cerezo Osaka tersebut.
“Ini merupakan tantangan yang menarik bagi saya. Saya merasa perubahan pemandangan akan berdampak baik. Ini adalah sesuatu yang memotivasi diri saya,” aku Kagawa. “Saya bertemu dengan pemain-pemain hebat dan ramah di sini. Saya bahkan sudah mendapat bantuan untuk belajar Bahasa Spanyol,” lanjutnya.
Dampak Instan Kepada Zaragoza
Kagawa mungkin sudah turun level. Ia bukan lagi pemain yang dapat mencetak lebih dari 10 gol dalam satu musim seperti saat naik daun di 1.Bundesliga 2011/2012. Akan tetapi, Kagawa tetaplah seorang bintang berkualitas. Hal itu sudah dibuktikannya ketika dibuang David Moyes dari Manchester United. Pamor Kagawa pun membantu Zaragoza kembali jadi sorotan berbagai media.
Hampir 7.000 suporter Zaragoza memadati La Romareda. Berbagai media dari penjuru dunia memberitakan kedatangannya ke Zaragoza. Padahal Los Blanquillos sudah absen mewarnai divisi tertinggi sepakbola Spanyol sejak 2013.
Musim 2019/2020 adalah kampanye tujuh mereka di divisi dua Spanyol. Pada 2018/2019, Los Blanquillos menduduki peringkat 15 klasemen akhir liga. Mereka hanya unggul enam poin dari Rayo Majadahonda yang berada di zona degradasi. Padahal, sudah mendapatkan tiga poin gratis dari CF Reus. Mungkin lelah bermain divisi dua, Zaragoza berharap Kagawa bisa membantu mereka kembali ke habitatnya di La Liga.
Sama seperti Mallorca, Deportivo La Coruna, dan Real Betis, Zaragoza merupakan salah satu kuda hitam yang dimilki La Liga. Mereka mungkin tidak mencapai level Valencia CF, Atletico Madrid, atau Sevilla yang bisa merusak tatanan papan atas. Namun kehadiran Los Blanquillos selalu memberikan intrik tersendiri. Terutama di ajang Copa del Rey.
Kuda Hitam yang Tertidur
Foto: Mundo Deportivo
Berhasil menjuarai enam Copa del Rey dari 11 kesempatan, Zaragoza disebut sebagai Raja Copa. Julukan itu memang terdengar aneh karena Copa del Rey sendiri berarti Piala Raja, tapi hanya ada lima kesebelasan yang lebih sering tampil di final Copa del Rey selain Los Blanquillos. Bahkan Sevilla pun tidak bisa menandingi raihan Zaragoza.
Sepanjang sejarah mereka, Zaragoza sudah memperkenalkan berbagai talenta hebat pada penikmat sepakbola. Terutama mereka yang mengikuti La Liga. Alberto Zapater, Gus Poyet, Ewerthon, Ricardo Oliveira, David Villa, Gabriel, dan Diego Milito, adalah beberapa pemain yang namanya mencuat bersama Zaragoza.
Sayangnya pada 2012, kesalahan manajemen membuat Zaragoza berantakan. Sekalipun di atas lapangan masih dibela pemain-pemain ternama layaknya Ángel Lafita, Leo Franco, dan Helder Postiga, kondisi balik layar hancur. Hutang klub mencapai 130 juta Euro. Termasuk 50 juta Euro kepada para pemain yang belum mendapatkan gaji mereka.
Menulis untuk Guardian, Sid Lowe mengatakan jika Zaragoza terdegradasi di akhir musim tersebut (2011/2012), mereka tidak akan bisa kembali lagi ke La Liga. Beruntung mereka bisa selamat dari degradasi dengan menduduki peringkat 16 klasemen akhir.
Postiga dan kawan-kawan hanya meraih tujuh kemenangan dari 10 pertandingan terakhir. Termasuk menekuk Atletico Madrid, Athletic Bilbao, dan Levante yang bersaing untuk tiket kompetisi antar klub Eropa. Tapi keberuntungan itu tidak bertahan selamanya. Apalagi saat orang-orang yang sama masih menguasai klub. Los Blanquillos menjadi juru kunci La Liga 2012/2013 dengan hanya meraih sembilan kemenangan.
Bangkit Bersama Christian Lapetra
Alberto Zapater cumple 300 partidos oficiales como titular con el #RealZaragoza 💪🦁 pic.twitter.com/CZURX23Th9
— Real Zaragoza 🦁🤍💙 (@RealZaragoza) October 13, 2018
Sejak saat itu, Raja Copa seperti kehilangan kekuatan magis mereka. Terperangkap di divisi dua dan hanya bisa mencapai 32 besar Copa del Rey. Agapito Iglesias, yang pernah menguasai Zaragoza selama enam tahun (2006-2012) akhirnya kembali ke La Romareda. Membeli saham klub dari Fernando Molinos sebelum memberikannya ke Presiden Zaragoza 2032 Foundation, Christian Lapetra pada Juli 2014.
Performa Zaragoza mungkin masih inkonsisten. Namun, Lapetra seperti memiliki visi yang jelas untuk klub. Berada di bawah kekuasaannya, promosi selalu menjadi target Zaragoza. Ia mengembangkan akademi klub dan mendatangkan pemain-pemain berkualitas untuk Los Blanquillos.
Borja Bastón, Jean Marie Dongou, Cani, Georgios Samaras, hingga Borja Iglesias turun membantu Zaragoza. Jesus Vallejo dan Alberto Soro muncul dari akademi dan menarik perhatian Real Madrid. Bahkan pada 2016, Zapater dipulangkan ke La Romareda.
Perlahan, Zaragoza pun mulai terlihat meyakinkan. Mereka berhasil mengakhiri musim 2017/2018 di peringkat tiga klasemen liga. Sayangnya, hanya ada dua tiket promosi otomatis ke La Liga. Los Blanquillos harus bertarung di playoff. Mereka pun gugur di semi-final setelah dikalahkan Numancia 2-3 secara agregat.
Kagawa Bukan Hasegawa
Foto: Twitter / @RealZaragoza
Kagawa akan menjadi tumpuan Zaragoza di 2019/2020 bersama Soro, James Igbekeme, dan Zapater. Rekor pemain Jepang di Zaragoza sebenarnya buruk. Sebelum Kagawa, Los Blanquillos pernah memboyong Aria Hasegawa dari Cerezo Osaka. Tapi pemain keturunan Iran tersebut hanya bertahan sembilan bulan sebelum kontraknya diputus pihak klub.
Padahal Zaragoza ketika itu ditangani oleh Ranko Popovic, pelatih yang sudah dikenal Hasegawa dari masa-masanya membela FC Tokyo. Popovic merupakan pelatih yang bisa mengeluarkan kemampuan terbaik Hasegawa di Jepang.
Berada di bawah arahan Popovic, Hasegawa bermain lebih dari 100 kali untuk FC Tokyo. Menjadi andalan klub di J1 2013 ketika dirinya terlibat dalam 14 gol dari 32 laga. Performa yang membuat Cerezo berminat memboyongnya ke Osaka.
“Hasegawa adalah pemain yang sangat teknikal seperti talenta-talenta Jepang lainnya. Ia bisa menempati berbagai posisi dan dibekali dengan insting mencetak gol,” kata Popovic. Hasegawa gagal memperlihatkan kualitasnya tersebut dan hanya bermain sembilan kali untuk Zaragoza. Jepang dan Cerezo memiliki catatan merah di Zaragoza. Tapi hal itu tak akan terjadi kepada Kagawa. Ia pasti akan memperbaiki reputasi Jepang di La Romereda.
Beda dengan Hasegawa, kualitas Kagawa sudah diakui di seluruh dunia. Jepang, Jerman, Inggris, semua sudah melihat kemampuan Kagawa. Bahkan ketika membela Besiktas di Turki, ia berhasil berkontribusi untuk enam gol dari 548 menit yang didapatnya. Itu sama saja satu gol setiap 91 menit.
Mustahil Kagawa, salah satu pemain paling sering membela tim nasional Jepang akan bernasib sama dengan Hasegawa yang belum pernah dipanggil membela Samurai Biru. Adanya, ia akan menjadi salah satu pembangkit Real Zaragoza, Sang Raja Copa!