Wafatnya Haringga Sirla, salah seorang pendukung Persija Jakarta, di Bandung, memberikan dampak yang besar. Semua seakan terbangun kembali dari tidur senyap. Sepakbola Indonesia masih mencekam.
Haringga mungkin sama seperti suporter lain. Dia hanya ingin menonton kesebelasan kesayangannya, Persija, yang pada Minggu (23/9/2018) bertandang ke Stadion Gelora Bandung Lautan Api untuk menghadapi Persib. Nahas, kematian justru menghampiri dirinya di tempat tersebut. Dia dikeroyok oleh sekelompok oknum bobotoh (sebutan untuk suporter Persib) yang mengetahui identitasnya sebagai Jakmania.
Sama seperti kematian Ricko Andrean pada Juli 2017 silam, kematian Haringga ini membuat kemenangan di Stadion GBLA, juga kemenangan Timnas U-16 Indonesia dalam ajang Piala Asia U-16 di Malaysia, terasa hambar. Saya sendiri merasakan, atmosfer GBLA setelah laga terasa berat. Seakan ada awan hitam yang menggelayut di GBLA setelah laga usai.
Atas kejadian yang tak diinginkan ini, beberapa pihak mulai mengambil sikap. APPI (Asosiasi Pemain Profesional Indonesia) menyatakan bahwa para pemain tak akan main di laga pekan 24 Go-Jek Liga 1 2018, jika belum ada nota damai bersama.
Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) mengambil tindakan yang lebih tegas. Mereka bersepakat agar kompetisi Liga 1 2018 dihentikan untuk sementara, sebagai bentuk belasungkawa sekaligus masa merenung, bahwa ternyata sepak bola Indonesia masih penuh dengan cacat, salah satunya adalah kasus meninggalnya suporter.
“Saya meminta liga sepakbola Indonesia dihentikan selama dua minggu,” ujar Imam dalam jumpa pers yang diadakan di kantor Kemenpora, Selasa (25/9/2018) sore WIB.
Tak lama berselang, PSSI, induk sepak bola Indonesia, juga mengadakan jumpa pers. Hasilnya, mereka juga menyatakan–lewat Ketua Umumnya yang eksentrik itu, Edy Rahmayadi–, menyatakan bahwa liga sepak bola Indonesia, khususnya Liga 1 dan Liga 2, akan dihentikan dalam waktu yang tidak ditentukan.
Apakah sikap ini benar? Lalu, apa memang liga harus dihentikan untuk sementara?
Mungkin Bukan Menghentikan, Tapi Menunda
Sikap yang diambil PSSI, Kemenpora, APPI, dan BOPI ini, jika ditelisik, merupakan sikap yang benar. Di tengah adanya korban jiwa dari salah satu pihak suporter, tak elok rasanya jika kompetisi diteruskan. Toh, suasana hampa akan tetap terasa, setidaknya dalam satu atau dua minggu ke depan.
Tapi, bahasa ‘menghentikan’ juga rasanya tak elok. Jika dihentikan, keadaan liga harusnya hanya tinggal sisa satu atau dua laga saja. Selain itu, keadaan negara juga harus sedang berada dalam tingkat “force majeure” yang teramat sangat, seperti peperangan atau seperti yang terjadi di Thailand musim lalu, kala raja mereka, Bhumibol Adulyadej, meninggal dunia.
Ada baiknya, PSSI dan PT LIB (Liga Indonesia Baru) selaku operator liga, yang juga dinaungi oleh Kemenpora selaku pemerintah, menunda liga setidaknya satu atau dua minggu, sampai kondisi benar-benar kondusif. Toh, menunda liga satu atau dua minggu tidak ada salahnya, asal di kemudian hari, utang laga dua pekan tersebut terbayar dan tidak bentrok sampai akhir tahun nanti.
Beberapa liga lain di Eropa pun kerap menunda liga selama sepekan atau dua pekan kala ada kejadian besar yang menimpa liga tersebut. Contohnya, ketika Davide Astori, pemain Fiorentina, meninggal dunia, Serie A ditunda selama sepekan. Hal ini sebagai bentuk belasungkawa, sekaligus masa berkabung bagi Serie A. Laga yang ditunda pada pekan tersebut dibayar langsung di kemudian hari, tanpa mengganggu jadwal kompetisi Eropa maupun jeda internasional Eropa.
Tak ada salahnya menunda (bukan menghentikan) kompetisi barang sepekan atau dua pekan, sekaligus mengevaluasi apa yang salah, sehingga bisa mengakibatkan kematian seorang suporter (lagi) di stadion. Namun, pertanyaannya, apakah PT LIB dan PSSI mampu membayar penundaan ini di kemudian hari? Apalagi, PT LIB dan PSSI dikenal buruk dalam pengelolaan jadwal kompetisi.
Bukan Cuma Menunda (atau Menghentikan), Tapi Juga Cari Solusi di Kemudian Hari
Sikap menunda (atau menghentikan, bagi mereka) kompetisi ini merupakan sikap yang benar. Tapi, jangan sampai ketika sesudah kompetisi ditunda, kejadian yang sama malah kembali terulang. Solusi adalah hal yang harus segera ditemukan, agar peristiwa yang sama tak terjadi lagi di kemudian hari.
Seperti yang sudah ditulis oleh Frasetya Vady Aditya di sini, harus ada catatan bersama bagi semua pihak yang terlibat dalam pertandingan: panitia pelaksana, PT LIB, PSSI, dan pihak kepolisian. Semua pihak tersebut harus paham standar pengamanan laga besar, dan bagaimana caranya melaksanakan partai besar yang berpotensi menimbulkan kerusuhan atau bahkan kematian sekalipun.
Cara penanganan kompetisi Eropa bisa ditiru. Laga dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu tingkatan A, B, C, atau D. Standar pengamanan dan pelaksanaan tiap laga tentu berbeda. Misal, untuk laga D yang potensi kerusuhannya minim, personel keamanan yang diturunkan tidak mesti sebanyak laga A yang berpotensi rusuh.
Sebaliknya, laga tingkat A, selaku laga besar, mesti mendapat perhatian lebih karena berpotensi rusuh. Standar pengamanan dan pelaksanaan harus lebih dari biasanya. Pihak keamanan yang ditempatkan, khusus untuk laga A ini, tidak hanya di dalam stadion. Area dengan radius beberapa kilometer dari stadion juga harus diamankan, karena potensi keributan tidak hanya terjadi di dalam stadion, tapi juga di luar stadion.
Soal pembagian laga A, B, C, dan D ini harus sudah dibagikan sejak kompetisi belum dimulai. Artinya, sejak awal kompetisi, PT LIB selaku operator liga harus sudah membagikan perihal tingkatan laga A, B, C, dan D ini kepada semua pihak yang terlibat, sehingga kelak persiapan untuk personel keamanan bisa disesuaikan. Jadi, tak akan ada ceritanya personel keamanan kurang karena laga tingkat A, misal, bentrok dengan agenda-agenda lain semisal pemilu atau agenda pemerintahan lain.
Jika langkah-langkah preventif ini sudah dilakukan, setidaknya ada upaya dari pihak-pihak terkait untuk mengurangi potensi bahaya, bahkan kematian, dari sebuah laga besar. Khusus untuk Polrestabes Bandung, masa iya dalam dua tahun terakhir laga Persib vs Persija di Stadion GBLA, harus ada dua nyawa yang melayang?
***
Pada akhirnya, semua di atas hanya berupa saran semata. Langkah konkret tetap harus diambil oleh pihak operator liga (PT LIB), PSSI, Panpel, dan pihak keamanan agar kelak, kematian-kematian di stadion tidak terulang kembali.
Tidak hanya itu, kita juga selaku suporter harus lebih mawas diri. Tak ada lagi pembelaan, tak ada lagi sikap lempar tangan, jika memang merasa salah, akui, dan berjanji dengan penuh bahwa tidak akan ada lagi hal yang sama. Rivalitas memang perlu, tapi jika sampai merenggut nyawa seseorang, hal itu sama sekali tidak lucu.
Jangan sampai hanya karena ulah segelintir orang, hal-hal positif yang sudah terbentuk malah jadi hilang dengan sendirinya. Sama seperti di GBLA, 23 September 2018 kemarin, saat kemenangan heroik Persib seakan menjadi hampa karena adanya nyawa melayang sia-sia. Jujur, kejadian itu benar-benar tidak mengenakkan.