Dwi Hartanto, Daffa Imran, dan Kita yang Haus Pengakuan

Setiap pekan, hampir selalu ada saja kabar yang menimbulkan kegaduhan khususnya bagi netizen Indonesia. Dalam beberapa hari ke belakang, sebuah “pengakuan dosa” dilakukan oleh Dwi Hartanto, ilmuwan yang sempat dijuluki The Next Habibie karena disebut membuat banyak prestasi di luar negeri.

Bagi yang belum tahu siapa dia, mari kita kembali ke dua tahun silam.

*

Pertengahan 2015 berita menggembirakan datang dari Belanda. Putra bangsa bernama Dwi Hartanto berhasil merancang dan meluncurkan Satellite Launch Vehicle (SLV) yang diberi nama The Apogee Ranger V7s (TARAV7s). Dwi mengklaim peluncuran ini merupakan proyek besar yang melibatkan berbagai organisasi dan kementerian Belanda.

Dalam wawancaranya dengan media massa nasional ia menjelaskan proses pengerjaan proyek roket tersebut. Tak hanya itu, Dwi juga terlibat dalam pengorbitan active nano-satellite yang kemudian menjadi tolok ukur desain standar teknologi tersebut di universitas-universitas dunia.

**

Dari cuplikan dua paragraf kilas balik di atas, harapan publik Indonesia memiliki ilmuwan kenamaan membumbung tinggi. Sama-sama memiliki keahlian di bidang dirgantara, Dwi digadang menjadi penerus Habibie.

Bahkan pada 2017 ini, Dwi dikabarkan menjuarai kompetisi riset kategori Spacecraft antar-Space Agency di Jerman. Tak pelak, prestasi tersebut membuat KBRI Den Haag mengganjarnya penghargaan saat momen upacara kemerdekaan Agustus lalu.

Namun semua puja-puji yang mengarah kepada Dwi seketika hilang tatkala ia secara resmi mengakui kebohongan mengenai segala prestasi bertubi-tubi yang diperolehnya. Akibatnya, penghargaan dari KBRI Den Haag dicabut dan sidang doktoral di Technische Universiteit Delft yang seharusnya ia jalani pertengahan September lalu harus ditunda.

Kasus di atas serta merta mengingatkan kita kepada seorang pesepakbola muda Indonesia bernama Muhammad Daffa Imran. Bagi yang belum tahu siapa dia, mari kita kembali ke dua tahun silam.

Kebanggaan Bekasi di Negeri Matador

Pertengahan 2015 berita menggembirakan datang dari Spanyol. Putra bangsa bernama Muhammad Daffa Imran berhasil menjadi kapten tim Real Madrid U-15. Sebuah pencapaian luar biasa karena untuk menembus akademi klub besar Spanyol itu saja tentu tak mudah, apalagi didapuk menjadi pemimpin tim dalam lapangan.

Perjalanan Daffa di dunia sepak bola memang cukup mencolok. Pada 2011 ia memperkuat Indonesia U-13 di ajang Yamaha Cup dan berhasil menempati posisi runner-up. Di tahun yang sama ia mewakili Indonesia pada ajang Danone Nation Cup di Santiago Bernabeu, Madrid.

Sempat terpilih dalam ajang pencarian bakat SV de Meteoor Amsterdam, Daffa kemudian mengikuti seleksi yang diselenggarakan Real Madrid pada 2014. Bakat yang ia tunjukkan selama berada di sana membuatnya ditunjuk sebagai kapten menggantikan kapten sebelumnya yang tengah cedera. Bahkan pengagum Andres Iniesta tersebut tetap ditunjuk sebagai kapten meski sang kapten utama telah sembuh dari cedera.

***

Bagaimana masyarakat sepakbola Indonesia tidak bangga mendengar kabar tersebut? Ucapan bahwa pesepakbola Tanah Air sangat potensial dan dianggap mampu bersaing di kompetisi-kompetisi Eropa sudah sering dilontarkan. Kini di depan mata, Daffa berkesempatan membela klub besar Spanyol yang memiliki nama besar, fasilitas, prestasi, dan segalanya.

Tepat di Hari Jadi Kota Bekasi yang ke-18, Daffa mendapat penghargaan langsung dari Walikota Bekasi, Rahmat Effendi. Meski hanya piagam, Zuchli Imran Putra, ayah Daffa mengaku bangga karena anaknya dianggap berprestasi dan menginspirasi. Daffa pun beberapa kali diundang mengisi program talk show di televisi dan menjelaskan statusnya di Real Madrid.

Namun tak lama berselang, beberapa netizen coba memastikan status Daffa di akademi Madrid dengan mengunjungi situs resmi klub. Setelah dicek rupanya nama pelajar SMAN 8 Bekasi ini tidak tercantum di tim kelompok usia manapun.

Usut punya usut, Daffa ‘hanya’ tergabung dalam tim Real Madrid Foundation yang mana merupakan program klub yang hadir sebagai wujud tanggung jawab sosial dan budaya. Siapa saja bisa mengikuti program pelatihan ini dengan biaya pendaftaran cukup besar. Intinya, Real Madrid Foundation bukanlah bagian dari tim kelompok usia Real Madrid.

Sikap yang ditunjukkan Daffa dan ayahnya di media dalam waktu singkat tersebut cukup disayangkan. Padahal informasi menyangkut klub sebesar Real Madrid akan sangat mudah diakses sehingga kekeliruan kabar seperti ini dapat diketahui dengan segera.

Pesepakbola Penipu

Soal tipu-menipu di dunia sepakbola, belum ada yang seberani Carlos “Kaiser” Henrique Raposo. Ia memang tidak memiliki kemampuan dalam mengolah si kulit bundar. Namun keinginannya untuk menjadi pesepakbola membuat Carlos nekat memperdaya banyak klub, dan hebatnya selalu berhasil.

Melihat catatan klub-klub yang ia bela, orang-orang pasti akan berdecak kagum. Botafogo, Flamengo, Fluminense, dan Vasco da Gama adalah klub elit Brasil yang pernah mengontrak Kaiser. Ia juga sempat berkarir di Perancis bersama Ajaccio. Sayangnya tidak ada hal yang patut dibanggakan selain kelihaiannya dalam menipu hingga dijuluki “farce footballer”.

Setiap baru dikontrak sebuah klub, ada saja trik untuk menutupi kelemahannya dalam bermain sepakbola. Mulai dari berpura-pura cedera di hari pertama latihan hingga bertengkar dengan suporter klub. Intinya, Kaiser hanya ingin menjadi pesepakbola tanpa harus bermain sepakbola.

“Saya ingin berada di antara pemain lain. Saya tidak ingin bermain. Ini yang menjadi masalah bagi orang lain jika mereka ingin saya menjadi pesepakbola. Bahkan Yesus pun tidak bisa menyenangkan semua orang, mengapa saya harus?” ujar Kaiser dikutip dari The Guardian.

Serupa dengan Kaiser, “pesepakbola” lain yang juga melakukan penipuan agar dapat direkrut klub elit adalah Ali Dia. Tak tanggung-tanggung, yang ia kelabui adalah seorang Graeme Souness yang kala itu melatih Southampton. Hanya saja setelah berhasil dikontrak The Saints, karir Ali Dia hanya bertahan satu pertandingan dan hingga sekarang tidak ada yang tahu keberadaannya.

**

Kepura-puraan yang diciptakan Dwi Hartanto dan kurang lengkapnya informasi soal Daffa Imran memang mengecewakan, tapi tak lantas pantas dihujat. Ada kalanya kasus di atas membuat kita sadar bahwa bangsa ini terlalu haus prestasi dan pengakuan dari bangsa lain. Sedikit saja dipantik dengan kabar membanggakan, euforia tercipta tanpa tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi.

Kasus ini juga membuktikan bahwa media kaliber nasional saja tidak jeli dalam memproduksi berita sehingga data yang didapat terkesan tanpa diverifikasi. Inilah mengapa kabar yang datang dari “grup sebelah” bisa membahayakan karena asal-usulnya belum jelas dan kebenarannya diragukan. Biasakan untuk tidak terpedaya dan mudah percaya dengan melakukan kroscek terhadap kabar yang beredar.

Ada baiknya pula untuk segera bercermin, barangkali kita juga pernah menciptakan atau ikut menyebarkan kebohongan-kebohongan yang bahkan belum pernah diakui demi menarik perhatian orang lain.