Kompetisi sepakbola tertinggi di Italia ini seakan memiliki segudang hal unik dibahas. Mulai dari segi teknis hingga sisi non-teknis. Kali ini, fenomena pergantian pelatih di dalam kesebelasan yang ada di dalamnya. Karena polanya yang berputar-putar, maka terminologi “komidi putar” (carousel) adalah yang pas untuk menggambarkannya.
Sejak kejayaannya hingga mengalami penurunan dalam dua dekade terakhir, sepakbola Italia memiliki kebiasaan yang juga dianut negara-negara umumnya di Eropa: Alergi pelatih asing. Meskipun pada ada awal perkembangan sepakbola di Italia, mereka juga sempat “terjajah” oleh pelatih asing, khususnya asal Inggris, Hungaria dan Austria. Di era 80 -an hingga 90-an, Italia juga sempat tergoda jasa pelatih luar Italia yang kebanyakan dari Eropa Tengah dan Eropa Tenggara.
Seiring perkembangannya–terutama saat memasuki era sepakbola profesional, Italia sulit menerima figur asing. Kalaupun ada nama non-Italia, biasanya pernah mencicipi atmosfer sepakbola Italia sebagai pemain atau meniti karier sebagai pelatih tim junior.
Karena faktor inilah, tak heran para pelatih kepala di klub-klub Serie-A dihiasi deretan nama yang “4L” alias Lu Lagi Lu Lagi. Para pemilik klub seolah enggan berjudi dengan nama besar yang bersinar di kompetisi tetangga. Hingga saat ini, mungkin hanya nama Jose Mourinho yang berhasil mematahkan anggapan ini. The Special One bahkan mampu mencatatkan rekor “sapu bersih” gelar yang diikuti Internazionale musim 2009/2010.
Kabar mengejutkan adalah pergantian kursi pelatih di enam kesebelasan Serie-A musim depan. Mereka yakni Juventus, Internazionale, Fiorentina, Napoli, Lazio, serta AS Roma.
Setelah berhasil kembali mengangkat trofeo Serie-A bersama Antonio Conte, Internazionale harus merelakan kepergian sang allenatore karena alasan yang diduga merupakan faktor finansial. Seolah tak mau ambil pusing, La Beneamata mempekerjakan salah satu pelatih dengan predikat most promising: Simone Inzaghi. Pelatih yang dijuluki La Spaziel One – oleh para suporter AS Roma – ini dianggap sebagai pelatih yang mampu bekerja dengan resources yang terbatas namun mampu mencapai target yang dibebankan manajemen Lazio.
Lain hal dengan Juventus. Usai kegagalan mereka yang melakukan perjudian dengan menunjuk Andrea Pirlo, La Vecchia Signora melakukan “CLBK” dengan pelatih sebelumnya, Massimiliano Allegri. Sebelum resmi kembali ke Juventus, Allegri sempat didekati Inter untuk mengisi pos pelatih. Namun, Juventus memberikan hal yang tak ditawarkan Juventus: Garansi kontrak 4 tahun dan carthe blanche bagi Allegri. Bagi Juve, Allegri dianggap paling mampu memenuhi target juara Serie-A, meskipun pada pemecatannya dahulu dilatarbelakangi kegagalan Juventus pada ajang Liga Champions.
Sang rival sekota, Torino, juga tak luput dari siklus ini pada musim mendatang. Usai lolos dari degradasi musim lalu, Il Toro menunjuk allenatore Hellas Verona, Ivan Juric. Keberhasilan eks pemain Genoa ini membawa Hellas Verona stabil bermain di Serie-A disebut menjadi pertimbangan utama sang pemilik klub, Urbano Cairo mempekerjakannya di stadion Olimpico Grande Torino.
Sementara Hellas Verona yang ditinggal Juric, memilih untuk mempekerjakan pelatih baru lainnya. Sudah bisa ditebak: Pelatih peserta Serie-A lainnya. Eusebio Di Francesco yang musim lalu sukses mempertahankan Cagliari dari degradasi ke Serie-B. Setali tiga uang, Cagliari menunjuk pelatih kesebelasan SPAL musim lalu, Leonardo Semplici.
Fiorentina menunjuk Rino Gattuso sebagai allenatore baru. Rino sapaannya, hengkang dari Napoli setelah berhasil membawa Napoli lolos ke zona liga Champions musim depan. Lagi-lagi nama pengganti Gattuso di stadion Diego Armando Maradona juga diisi nama familiar yakni Luciano Spaletti. Pelatih berkepala plontos ini sebelumnya berhasil membawa AS Roma menjadi title contender selama bermusim-musim.
Kabar terbaru mengisyaratkan eks pelatih Leicester City, Claudio Ranieri, yang memutuskan untuk angkat kaki dari Sampdoria. Mengutip tuttomercatoweb, Ranieri dikabarkan tak puas dengan proposal yang diajukan sang pemilik Sampdoria. Pada akhirnya Blucerchiati dikabarkan akan bereuni dengan Marco Giampaolo yang masih menganggur usai didepak Torino.
Kesebelasan Serie-A lainnya, Sassuolo, juga dikabarkan tengah mencari pelatih baru usai ditinggal Roberto De Zerbi yang hengkang ke kesebelasan raksasa Ukraina, Shaktar Donetsk. Il Neroverdi digadang-gadang melakukan negosiasi dengan Vincenzo Italiano yang musim lalu sukses membawa Spezia promosi ke Serie-A musim ini.
Dari ibukota, SS Lazio mendobrak linimasa media sosial dengan menunjuk Maurizio Sarri sebagai pelatih hingga 2023. Sarri yang dicap gagal oleh Juventus, kini mengemban misi yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Keputusan mempekerjakan pelatih dengan bayaran mahal sekelas Sarri juga dipengaruhi ambisiusnya rival sekota, AS Roma yang baru saja menunjuk Jose Mourinho.
Baca juga: Penunjukan Mourinho Sebagai Langkah Krusial Era Baru AS Roma
Sehingga di musim depan ada 10 kesebelasan yang mempekerjakan pelatih baru dari total 18 klub. Sembilan (9) diantaranya adalah pelatih yang sebelumnya juga melatih kesebelasan Serie-A.
Bagi Pemilik Klub, Pelatih Tak Ubahnya “Semangka”
Di era sepakbola modern, mencari kambing hitam atas kegagalan adalah hal yang lumrah. Kegagalan sebuah kesebelasan biasanya akan dituju kepada sang pelatih kepala yang dianggap bertanggung jawab atas performa tim di atas lapangan. Untuk satu ini, Italia adalah salah satu yang paling parah.
Bila sedikit menengok ke belakang, kompetisi Serie-A Italia pernah melakukan 13 pergantian pelatih dalam jangka waktu satu musim kalender kompetisi 2012/2013. Bahkan saat itu, kesebelasan asal Sisilia, Palermo -masih berlaga di Serie-A- melakukan 4 kali pergantian pelatih.
Penggemar sepakbola banyak menganggap bahwa sepakbola Italia adalah yang terkejam. Sampai akhirnya para investor asal Italia menancapkan kukunya di tanah Inggris. Watford dan Leeds United adalah diantaranya.
Kesebelasan Watford yang dimiliki oleh keluarga Pozzo (pemilik Udinese) membeli Watford di musim 2012/2013. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, Watford telah melakukan 12 kali pergantian kursi pelatih. Gino Pozzo, sang pemilik klub, gemar mempekerjakan para pelatih dari Italia dan Spanyol. Keputusan yang paling kontroversial juga pernah dilakukan Pozzo ketika memecat Quique Sanchez Flores dalam waktu 3 bulan.
Hal yang lebih gila lagi pernah dilakukan Massimo Cellino di Leeds United. Pengusaha yang kini menjadi pemilik Brescia, bahkan melakukan pergantian kursi pelatih Leeds sebanyak 7 kali dalam kurun 4 musim. Secara gamblang, Cellino mengibaratkan pelatih seperti “semangka” yang perlu dibuka dahulu dan dicicipi rasanya. “Coaches are like watermelons, you only know [how good it is] when you open it,” ujar Cellino.
***
Kebiasaan para pemilik klub untuk mengganti pelatih secara “seenak jidat” ini salah satunya dilatarbelakangi oleh kultur sepakbola Italia yang cenderung memberikan owner kekuatan tak terbatas. Berbeda tipikal dengan pengaturan kepemilikan di negara lain seperti Jerman dengan peraturan “50+1” -nya, atau beberapa kesebelasan Inggris yang biasanya dimiliki oleh investment group sehingga perlu proses yang cukup panjang untuk mengambil keputusan. Meskipun pada prakteknya, beberapa klub Inggris seperti Chelsea atau Tottenham Hotspur memiliki tipikal absolute power yang kerapkali mengintervensi urusan manajer/pelatih kepala.
Jika dilihat dari sisi positifnya, fenomena “komidi putar” dalam sepakbola Italia dapat diartikan bahwa Italia masih menjaga marwah ke-Italia-an mereka. Sepakbola Italia, dengan segala karakternya yang amat tactical menuntut jam terbang tinggi bagi para pelatihnya. Di sisi lain, “komidi putar” di Italia juga berarti sulitnya para manajer muda untuk bisa langsung duduk di kursi kepelatihan klub-klub Serie-A.