Kenapa Copa America 2019 Kurang Greget?

Foto: RPP

Gelaran Copa America 2019 telah menyelesaikan babak grup. Sayangnya tampak ada minor yang kadung mengganjal. Turnamen terasa berjalan kurang greget.

Utamanya bukan menyoal teknis di lapangan hijau. Memang, Brasil selaku tuan rumah belum kunjung diperkuat megabintang Neymar. Argentina terseok-seok bersama Lionel Messi dan Sergio Aguero yang terlalu flop di turnamen antarnegara kalau dibandingkan dengan penampilan level klub. Dua tim undangan asal Asia, Qatar dan Jepang, sesuai prediksi cepat pulang ke kampung halaman. Pada persaingan top skor berisi sembilan pemain dengan jumlah dua gol saja.

Sidang gugatan Pemilhan Presiden di Mahkamah Konstitusi yang semestinya membosankan justru lebih menghibur ketimbang gelaran Copa America edisi ke-46. Terlebih sidang di MK memang memproduksi banyak meme.

Kurang gregetnya Copa America justru karena memang turnamen ini tidak ditayangkan di televisi nasional. Berbeda dengan dua turnamen sebelumnya yang selalu tayang gratis di layar kaca, justru kali ini mesti absen dinikmati. Penonton mesti membayar untuk berlangganan tayangan tersebut. Padahal, sudah sangat sering kompetisi elite sepak bola antarnegara hadir secara gratis. Termasuk juga Piala Dunia dan Piala Eropa. Alhasil, gema turnamen tertua ini kurang terasa.

Padahal, ada sosok pemain sekaliber Lionel Messi, Neymar, dan Luis Suarez yang pernah sama-sama menjadi trisula maut di Barcelona. Tayangan pertandingan di pagi hari juga menjadi tantangan bagaimana Copa America bisa mencuri perhatian di tengah kesibukan orang-orang memulai aktivitas, seperti pergi ke kantor.

Baca juga: Sepak Terjang Para Tamu Sopan Copa America

Tambah runyam pula, Copa America tidak menyediakan media sosial khusus yang berbahasa Inggris. Facebook, Instagram, dan Twitter mereka kali ini berbahasa Spanyol dan Portugis, dua bahasa nasional negara-negara Amerika Latin. Tiada satupun Inggris. Bagaimana mungkin ajang sekelas Copa America enggan menghubungi digital agency untuk mengomunikasikan pesannya kepada penggemar sepak yang tidak berbahasa mereka? Kurang budget? Gabung grup Facebook pelaku agensi digital, dong.

Ya sudah. Tampaknya penyelenggara memang sengaja menjadikan turnamen kali ini terasa lokal. Namun, ya… kalau selevel media sosial Copa Sudamericana, Serie-B Brasil, atau Liga Narcos sih boleh saja tidak pakai bahasa Inggris. Pakai kamus terjemah online juga ya tanggung, toh sekadar kabar media sosial. Jarang pula diperbarui.

Semakin kurang greget, mereka juga tidak menyediakan cuplikan pertandingan resmi di situs. Penggemar sepak bola mau tidak mau mesti menonton dari tayangan yang rasio layarnya di potong, berhias bumper norak, dan kualitas gambar yang hanya menyakinkan kalau cuplikan itu ilegal. Piala Dunia Perempuan saja cuplikannya dapat dinikmati di situs video yang mencuatkan nama keluarga Gen Halilintar.

Situs resminya? Meh, mirip tugas akhir murid kursus web design. Slogan turnamen, “Rocking the Continent” (untung ada fitur alih bahasa) tampil malu-malu nyaris tidak terlihat. Tidak ada pula galeri khusus untuk menikmati keseruan aksi lapangan hijau dari hasil jepretan fotografer. Malah banyak sorotan suporter.

Berita terbaru juga jarang diperbarui. Menghadapi babak gugur, masa iya informasi teranyar soal prediksi pertandingan Jepang melawan Ekuador? Keduanya sudah tersingkir. Apa iya penulis konten situs digaji di bawah UMR Rio de Janeiro?

Frekuensi Terlalu Tinggi

Sudahlah tidak dilangsungkan di tahun bersamaan dengan Piala Eropa ataupun Olimpiade, bisa-bisanya Copa America masih kurang punya gaung. Padahal, pada 2007 turnamen digelar untuk mengganti kelipatan tahun genap yang terakhir terlaksana di tahun 2004. Sebab, dengan perhitungan empat tahun sekali seperti itu, mustahil berbenturan dengan Piala Eropa dan Olimpiade.

Perhitungan tahun ini juga yang membuat Copa America tampak berlebihan dari segi frekuensi pelaksanaan. Baru tiga tahun lalu, tergelar edisi spesial Copa America Centenario tahun 2016 di Amerika Serikat. Itu dilangsungkan hanya setahun setelah Copa America rutin yang berlangsung di Cile. Copa America di Brasil tahun ini mengikuti perhitungan edisi di Cile, bukan Centenario.

Tambah runyam lagi, tahun depan ada Copa America 2020 dengan tuan rumah bersama, Argentina-Kolombia. Tujuannya untuk menormalisasi perhitungan kelipatan empat tahun dimulai dari 2020. Memperbaiki apa yang mereka lakukan sebagai perbaikan pada 13 tahun lalu. Digelar dalam periode yang benar-benar sama, 12 Juni-12 Juli dengan Piala Eropa yang tuan rumahnya satu benua. Terlalu sering dan peta kekuatan tidak banyak berubah, alhasil turnamen kurang bergairah.

Teracaknya waktu tahun penyelenggaran bermula pada 1996. Sejak tahun itu, kualifikasi Piala Dunia untuk zona Conmebol berformat kompetisi penuh, bukan lagi terbagi ke dalam grup. Sehingga, terlalu banyak pertandingan antartim nasional di kawasan yang hanya berisi 10 negara ini. Copa America yang awalnya digelar dua tahun sekali, mesti terkena dampaknya. Edisi 1997, 1999, 2001, dan 2004 hanya diisi kekuatan nomor dua masing-masing peserta. Keseruan turnamen mengendur.

Isu Di Baliknya

Upaya menggelar Copa America empat tahun sekali yang dimulai pada 2007 sebenarnya menghasilkan solusi. Tidak banyak pertandingan dan tidak bertabrakan dengan Piala Eropa. Sayang, tren ini justru enggan dilanjutkan. Conmebol terlalu rajin menggelar turnamen ekstra, semisal edisi Centenario yang menghadirkan final ulangan.

Keputusan melakukan normalisasi turnamen pada 2020 bukan karena menyediakan banyak kesempatan Messi akhirnya juara bersama Argentina. Melainkan agar tersedia waktu kosong di pertengahan tahun 2023 untuk FIFA menggelar agenda Piala Dunia Antarklub format baru. Itulah isu di baliknya.

Conmebol juga setidaknya dalam waktu pendek tidak dirugikan. Sebab banyak tergelar turnamen kompetitif yang pasti menarik perhatian pecinta sepak bola. Sayang, meningkatnya kuantitas selalu sulit diiringi peningkatan kualitas. Gelaran kali ini menjadi korban. Sinar Copa America 2019 tampak redup dan sepi untuk penggila sepak bola di Indonesia.

Kurang heboh, akibat minim publikasi dan terlalu sering terjadi. Copa America mesti punya gregetnya lagi.

sumber: copaamerica.com