Liga Indonesia resmi dihentikan setelah terjadinya Tragedi Kanjuruhan. Dalam masa penghentian ini, ada sejumlah hal yang dilakukan. Aparat memeriksa siapa yang salah, sementara pemerintah berusaha mengevaluasi infrastruktur fisik dan aturan langsung bersama FIFA.
Pembenahan infrastruktur ini pernah kami bahas. Salah satunya dengan menghilangkan pagar pembatas. Tujuannya untuk memudahkan evakuasi suporter bila terjadi hal mengerikan di tribun.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan dan Apa yang Bisa Dilakukan Agar Tak Terulang
Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan mentransformasi sepakbola Indonesia secara menyeluruh. Ia memastikan semua aspek pertandingan berjalan sesuai dengan standar keamanan FIFA.
Pemerintah Indonesia dan FIFA sepakat mengkaji kembali kelayakan stadion dan menerapkan teknologi untuk membantu mitigasi aneka potensi yang membahayakan penonton maupun pemain.
Pembenahan stadion bisa segera dilakukan, karena umumnya stadion yang digunakan klub di Indonesia merupakan milik pemerintah daerah. Lantas di mana peran klub?
Evaluasi dan Pembelajaran
Tragedi Kanjuruhan menghadirkan evaluasi. Salah satunya soal sistem tiket yang semestinya dijual dengan sistem satu kartu identitas, satu tiket. Evaluasi ini bisa dilakukan oleh klub dengan mengubah sistem penjualan tiket mereka.
Selain soal aspek pertandingan, klub juga bisa belajar dalam hal lain. Misalnya, menjalankan sepakbola di usia muda.
Ini yang dilakukan oleh Persita Tangerang pada 13-19 Oktober. Mereka terbang ke Portugal untuk bertemu dengan tiga kesebelasan besar di negara kelahiran Cristiano Ronaldo tersebut. Persita bertemu dengan FC Porto, Benfica, dan Sporting Lisbon.
Persita dipertemukan oleh Duta Besar RI untuk Portugal, Rudi Alfonso, dengan ketiga klub tersebut. Tujuannya adalah agar bisa membawa metodologi pendidikan sepakbola usia dini hingga junior ke Indonesia. Diharapkan dengan cara ini, Persita bisa mengembangkan pemain untuk dikirim ke Portugal, bermain di sana, lalu berkelana ke klub-klub Eropa.
Mengapa Portugal yang dipilih?
Portugal adalah negara dengan penduduk 10 juta jiwa. Meski tak sampai 5 persen dari total penduduk Indonesia, tapi Portugal adalah negara maju dalam sepakbola. Mereka menjuarai Piala Eropa 2016 dan mencapai final Piala Eropa 2004.
Banyak pemain top diproduksi oleh Portugal, mulai dari Eusebio, Nene, Luis Figo, Pauleta, Rui Costa, Nani, sampai Ronaldo. Liga Portugal pun termasuk ke dalam 7 besar liga top Eropa.
Secara gaya main, Portugal punya metode pendidikan yang lebih dekat dengan gaya Amerika Latin. Ini wajar mengingat sejarah panjang Portugal dengan Amerika Latin, khususnya Brasil. Selain itu, negara-negara Amerika Latin juga kerap menjadikan Portugal sebagai tujuan pertama saat merantau ke Eropa.
Portugal punya banyak pelatih berlisensi pro. Salah satunya Bernardo Tavares yang menangani PSM Makassar. Uniknya, Tavares juga pernah bekerja di tiga tim top Portugal: di Benfica sebagai pelatih tim muda, di Porto sebagai scout, dan di Akademi Sporting CP sebagai asisten.
Delegasi Persita dipimpin langsung oleh presiden klub mereka, Ahmed Rully Zulfikar, Direktur Teknik Persita, Luis Duran. Mereka bertemu langsung dengan perwakilan akademi dan tiga klub top tadi. Mereka mengunjungi museum, stadion, serta merchandise store.
Saat dijamu di KBRI Portugal, delegasi Persita juga bertemu dengan Abel Xavier. Ia adalah legenda sepakbola Portugal yang pernah main di PSV, Everton, Liverpool, AS Roma, dan mengakhiri kariernya di LA Galaxy. Xavier menceritakan perjalanan kepelatihannya ketika membangun timnas Mozambik.
Mengutip Abel, sepakbola modern sekarang ini dikembangkan tidak saja hanya dengan membangun skill dan fisik individual pemain, melainkan menerapkan teknologi dan sport science. Hal ini bisa dimulai dari aspek fisik, fisioterapis, nutrisi, psikologi, medis, performance analysis serta masih banyak hal lainnya. Dengan sport science, klub dapat menganalisis lebih banyak dan efektif bagi sektor pembinaan.
Kerja sama Persita dengan tiga klub top di Portugal ini menjadi kabar baik. Apalagi, yang mereka lakukan adalah membangun fondasi sepakbola lewat sepakbola usia dini dan pengembangan akademi. Kalau kerja sama ini akhirnya terealisasi, bukan tidak mungkin kita akan melihat lebih banyak bakat-bakat muda Indonesia yang main di Eropa.