Manajer Britania yang Semakin Tidak Laku di Inggris

Daratan Inggris sejak era ekspansi televisi Sky Sport bisa dibilang sebagai ‘kiblat’ sepakbola. Sorotan yang kuat yang disebabkan tayangan siaran langsung sepakbola ke seluruh penjuru dunia ini menyebabkan perhatian penggila bola perlahan menjurus ke daratan Ratu Elizabeth.

Sejak itulah klub berloba-lomba mendapat posisi terbaik di liga domestik, Premier League. Semakin tinggi pencapaian di liga, makin besar bonus yang didapatkan. Ditambah, peluang mereka untuk berlaga di kancah kontinental.

Kehadiran Arsene Wenger ke Arsenal pada 1996 yang notabene manajer impor setidaknya membuat hegemoni Sir Alex Ferguson bersama Manchester United sedikit terganggu. Bisa dibilang, kehadiran Wenger saat itu yang menerapkan sepakbola yang lain daripada yang lain perlahan membuat mindset klub-klub berubah.

Di era itu penunjukan manajer non-Britania adalah hal yang tak lazim. Salah satu penyebabnya adalah gaya bermain tim-tim Inggris yang bertempo tinggi, keras, dan banyak memainkan direct football. Sehingga, manajer haruslah orang-orang yang setidaknya pernah berkecimpung dan mengenal kultur sepakbola Inggris dengan baik. Dan saat itu orang ‘luar’ dianggap tidak memilikii kompetensi.

Gaya bermain yang diterapkan oleh manajer asing inilah yang paling membedakan dengan jelas dengan manajer Britania. Bisa dibilang, sejak kesuksesan Arsenal dan Chelsea bersama manajer asingnya, klub-klub ‘Top Six’ Premier League nyaris selalu menggunakan jasa manajer luar Inggris.

Awal Era Penggunaan Manajer Asing

Chelsea misalnya. Setelah menggunaan jasa Glen Hoddle pada musim 1993/1994 hingga 1996, The Blues selalu menggunakan manajer asing. Ruud Gullit, Vialli, Ranieri, Mourinho, Avram Grant, Scolari, Ancelotti, Villas-Boas, Di Matteo, Benitez, hingga Antonio Conte. Penggunaan manajer interim menjadi pengecualian bagi Chelsea.

Ray Wilkins dan Graham Rix yang orang Inggris asli yang setia menjadi manajer sementara. Hasilnya, selama menggunakan manajer impor, tim yang bermarkas di Stamford Bridge ini meraih 22 trofi domestik maupun kontinental.

Sementara rival sekota, Tottenham Hotspur yang terbiasa menggunakan manajer Britania sejak berdiri, mulai reguler menggunakan jasa manajer asing sepeninggal era Glen Hoddle pada 2001. Tercatat nama Jacques Santini, Martin Jol, Juande Ramos, sebelum kembali merekrut manajer kawakan, Harry Redknapp pada 2008 hingga 2012.

Seusai era Redknapp yang justru banyak ‘mengangkat’ level Spurs, klub ini menggunakan jasa manajer Portugal, Andre Villas-Boas yang terbilang gagal total. Kembali menggunakan manajer Britania, Tim Sherwood, dan kini dilatih Mauricio Pochettino asal Argentina. Penunjukan manajer asal Argentina ini bukan kali pertama bagi mereka, sebab mereka pernah dilatih eks pemain mereka sendiri yakni Osvaldo Ardiles pada musim 1993/1994.

Bagi Spurs, penunjukan manajer luar Inggris ini berdampak pada performa mereka di kancah Premier League. Sejak 2004, klub berlogo Ayam Jago ini reguler menempati posisi 6 besar, kecuali di musim 2007/2008 dan 2008/2009 mereka duduk di posisi 11 dan 8.

Liverpool dan Kejayaan Manajer Britania

Hal serupa juga dilakukan oleh Liverpool. Kejayaan mereka yang didapatkan oleh manajer Britania tidak membuat mereka keukeuh menunjuk manajer Britania lantaran hasil yang tak kunjung diidamkan. Penunjukan manajer asing terjadi di musim 1998/1999 di era Gerard Houllier yang sebenarnya datang untuk mengisi pos joint-manager bersama Roy Evans. Houllier sukses mendatangkan 6 gelar bagi The Reds.

Kesuksesan lain juga ditunjukan suksesor Houllier, yaitu Rafa Benitez. Di era Benitez, Liverpool berhasil menggondol trofi Liga Champions, Super Cup dan juga Piala FA. Percobaan mereka dengan 2 manajer Britania yakni Roy Hodgson, Kenny Dalglish, dan Brendan Rodgers terbukti gagal (bila dibandingkan 2 manajer sebelumnya) dan ini pulalah yang membuat mereka memutuskan menunjuk Juergen Klopp dari Dortmund pada musim 2015/2016.

Kesuksesan demi kesuksesan yang diraih oleh manajer asing inilah yang juga membuat klub-klub yang berpenampilan angin-anginan di tiap musim pada akhirnya mencoba jasa manajer asing. Klub-klub yang bisa dibilang konservatif terhadap manajer Britania seperti West Ham United, Everton, Newcastle pada akhirnya ‘menyerah’ pada idealisme mereka.

West Ham United menunjuk Gianfranco Zola pada musim 2008/2009. Everton menunjuk manajer non-Britania pertama mereka, Robero Martinez pada 2013. Demikian dengan Newcastle. The Magpies, yang sempat mencicipi jasa Ruud Gullit pada 1998/1999, pada akhirnya menunjuk Rafael Benitez saat klub tersebut dipastikan terdegradasi pada akhir musim 2015/2016.

Tekanan Akan Prestasi Instan

Bukan rahasia, besarnya uang bonus dari hak siar televisi membuat para pemilik klub Premier League berlomba-lomba meraih posisi setinggi-tingginya di kancah liga. Apalagi jika klub berhasil lolos ke kompetisi Eropa, tentu pemasukan dari sponsor dan juga investor akan semakin tinggi. Menunjuk manajer asing adalah sebuah pemikiran yang masuk akal.

Namun dengan konsekuensi waktu untuk beradaptasi seperti pengenalan atmosfer sepakbola dan juga kendala bahasa, membuat manajer asing bukanlah sebuah jaminan mutlak. Semakin menjanjikan hasil yang ditunjukan oleh seorang manajer, tentu membuat gajinya naik pesat. Sehingga, tak sedikit pula klub yang mulanya mencoba peruntungan menunjuk manajer asing ini pun harus kembali menunjuk manajer lokal.

Celakanya, pertumbuhan manajer Britania ‘siap pakai’ untuk klub-klub Premier League bisa dibilang mandek. Hal ini bisa dibuktikan dari nama-nama manajer yang itu-itu saja. Jika dilihat, nama-nama seperti Sam Allardyce, Roy Hodgson, Mark Hughes, Tony Pulis, dan Alan Pardew hanya akan bertukar-tukar klub pada tiap musimnya. Di satu sisi, ini adalah hal yang lucu, namun lebih dalam, ini adalah sebuah fenomena yang menyedihkan.

Hal ini juga diteliti oleh John Goddard, seorang professor bidang ekonomi olahraga profesional di Britania. Berdasarkan risetnya, keunggulan manajer asing di antara enam klub Premier League teratas – Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City dan Spurs adalah fenomena yang relatif baru. Antara mereka dikelola oleh manajer Inggris atau Irlandia untuk lebih dari setengah (54,9%) permainan, dari 1992/1993 hingga akhir musim lalu

Sam Allardyce, manajer Everton yang sudah lebih dari 20 tahun melatih tim-tim Premier League. Menurutnya, manajer Britania kini hanya dijadikan pilihan kedua bagi klub-klub Britania. Bahkan, Allardyce pada sebuah talkshow di Oktober 2017 pernah menyatakan jika sebaiknya manajer Britania lebih baik melatih di liga luar Britania saja, karena di tanah kelahirannya, mereka sudah menjadi asing.

Disebabkan Kepemilikan Klub oleh Investor Asing

Iming-iming uang yang besar di Inggris baik Premier League maupun Championship membuat taipan dari berbagai negara membeli kepemilikan klub. Puncaknya, saat Roman Abramovich membeli Chelsea pada 2003. Sejak saat itu klub-klub di Inggris didanai oleh pemilik asing. Saat ini duapertiga klub Premier League dimiliki orang luar Inggris. Hal inilah yang membuat kecenderungan klub menunjuk manajer asing.

Hal ini juga tak lepas dari perhatian Alex Ferguson. Fergie sempat mengutarakan pendapatnya tentang pengaruh pemilik asing dan manajer Britania pada 2011 silam. Menurutnya, masuknya pemilik asing ke sepakbola Inggris telah menciptakan sikap ‘tidak sabaran’ yang meluas dengan para manajer yang keadaannya menjadi “buruk dan semakin buruk” dan menyebabkan peningkatan tajam pada korban pemecatan manajer di Liga Inggris. Sebuah pernyataan yang tepat, mengingat berdasarkan fakta, ada sebanyak 1.023 manajer yang telah dipecat oleh klub di Inggris sejak SAF ditunjuk menangani Manchester United pada 1986 hingga 2011 silam.

Salah satu contoh parah dari ketidaksabaran pemilik klub asing terhadap manajernya bisa dilihat tatkala Frank de Boer dipecat Crystal Palace di awal musim ini setelah hanya melatih 5 laga saja. Palace dimiliki 3 pengusaha dan 2 diantaranya adalah pengusaha asal Amerika Serikat. Juga bagaimana pemilik Leeds yang berasal dari Italia, Massimo Cellino yang memecat manajernya, Dave Hockaday setelah hanya melatih di 6 laga saja.

Padahal bila pemilik klub lebih jeli, padahal manajer asal Britania cenderung lebih menjanjikan stabilitas secara tim. Masih berdasarkan data dari Prof. Goddard, antara tahun 1992-93 dan 2015-16, ada 1.170 tugas manajer oleh 544 manajer Inggris dan Irlandia yang berbeda dalam sepak bola Inggris, dengan rata-rata pekerjaan mereka selesaikan sebanyak 86,3 pertandingan. Selama periode yang sama, 115 pekerjaan diselesaikan oleh 80 manajer asing, dengan durasi rata-rata hanya 58,2 pertandingan.

Tapi hal ini juga tidak bisa dijadikan patokan, mengingat ekspektasi klub terhadap manajer asing cenderung lebih tinggi daripada kepada manajer lokal, sehingga bila ekspektasi yang diberikan gagal, maka tak ada kata ampun untuk para manajer asing ini.

Berdampak Pula Terhadap Tim Championship

Naasnya, fenomena maraknya manajer asing juga berimbas sampai ke klub-klub di bawah Premier League, English Championship. Mereka yang berkompetisi di liga dengan rataan penonton terbanyak ketiga di dunia ini juga sudah tentu tergiur iming-iming keuntungan finansial yang didapatkan ketika bermain di Premier League. Ini membuat klub-klub pesertanya melakukan hal yang sama yakni menggunakan jasa manajer impor. Sebagai bukti, dalam beberapa musim terakhir, beberapa klub promosi menggunakan manajer impor dalam mencapai kesuksesan promosi.

Newcastle United harus rela merogoh koceknya lebih dalam ketika manajer sekelas Benitez dibebani target langsung promosi pada 2016 silam dan ternyata berhasil. Huddersfield Town, klub debutan yang penampilannya musim ini menjanjikan, dilatih oleh manajer kebangsaan Jerman-Amerika Serikat, David Wagner. Middlesbrough juga berhasil dibawa promosi oleh Aitor Karanka yang berkebangsan Spanyol. Kandidat juara Championship musim ini, Wolverhampton Wanderers juga dilatih oleh manajer berkebanngsaan Portugal, Nuno Espirito Santo. Musim ini ada 6 manajer luar Britania & Irlandia yang melatih di Championship.

Untungnya, masih ada harapan bagi manajer Britania, mengingat sebagian besar dari mereka yang promosi ternyata manajer lokal. Hasilnya? Bisa dibilang lumayan. Sean Dyche, misalnya. Manajer yang sukses membawa Burnley promosi kedua kalinya di musim 2015/2016, kini bisa membawa The Clarets memperebutkan posisi Europa League musim depan. Ada pula nama Eddie Howe yang sukses membawa Bournemouth promosi 2 divisi dalam 3 tahun ke Premier League.

Bisa dikatakan peluang bagi para manajer Britania di Premier League hanya bisa didapatkan bagi tim-tim diluar Big Six. Dengan segala keterbatasan finansial yang dimiliki klub-klub tersebut, artinya manajer Britania dituntut untuk bisa bersaing dengan klub Big Six yang lebih melimpah sumber dayanya.

Melihat fenomena ini, para manajer Britania seharusnya bisa ‘memanfaatkan’ manajer-manajer asing ini untuk mempelajari kelebihan dan kekurangan mereka. Karena tak dapat dipungkiri, kehadiran manajer sekelas Antonio Conte ataupun Pep Guardiola terbukti mengubah gaya bermain klub dalam waktu yang singkat. Hal ini juga secara tak langsung memengaruhi tim-tim lain untuk beradaptasi dengan taktik mereka. Ini membuat manajer Inggris, Skotlandia, ataupun Irlandia dituntut harus lebih cerdik.

Dan yang paling penting, keberlangsungan regenerasi manajer Britania ini harus disadari para pemilik klub pun dengan lebih memberikan kesempatan untuk para manajer lokal, karena bagaimanapun mereka pulalah yang pada akhirnya memberi pengaruh besar dalam berkurangnya pertumbuhan manajer asli Britania.