“Jejakkan kaki di tanah..
Berbaris ke satu arah..
Menuju dataran merah..
Basah merah bersimbah darah..”
Sebagai seorang yang tumbuh besar di tahun 2000-an, rasanya mustahil tak pernah mendengar satu band yang paling ikonik di skena independen tanah air: The Brandals. Kelompok musik asal Jakarta ini menjadi salah satu tonggak kebangkitan musik indie awal 2000-an. Kehadiran Eka Annash dkk., di bawah naungan label Aksara kala itu mengawali saya untuk mengenal band-band yang juga hadir menghiasi televisi musik favorit seperti Efek Rumah Kaca, The Adams, Sore, White Shoes and The Couples Company.
Karena The Brandals pulalah, masa kanak-kanak menuju remaja memengaruhi penulis. Mendengarkan lagu-lagu mereka kala itu seperti pemicu hormon-hormon yang kala itu sedang tinggi-tingginya untuk bisa melampiaskan rasa marah, kecewa, sedih, atau senang. Bagaimana tidak, dengan genjrengan riff gitar a la band punk rock Inggris, balutan melodi bernuansa musik blues, serta hentakan drum garage rock yang kala itu sedang marak berkat naiknya pamor band JET atau The Vines, band seperti The Brandals adalah representasi band rock idaman pemuda kota besar kala itu.
Kata-kata di awal tulisan ini adalah pengaglan dari lagu mereka yang berjudul “Marching Menuju Maut”. Diambil dari self-titled album yang membuat nama mereka meroket di 2003. Didalamnya juga terdapat lagu-agu yang menjadi setlist mereka hingga kini seperti “Lingkar Labirin” dan 100km/jam.”
Sebagai penganut paham football n rock’n’roll, sepakbola tentunya tak bisa dipisahkan dari keseharian. Bila kalian generasi Z mengagumi pencapaian Leicester City menjadi kuda hitam di Liga Inggris, maka hal yang sama akan dialami mereka-mereka yang tumbuh di pertengahan 2000. Bolton Wanderers adalah everyone’s second team saat itu.
Rock’n’roll di tanah air yang terus tenggelam dimakan zaman. Hadirnya musik pop punk berbalut progresi kunci minor, vocal scream, dan double pedal yang dinamai: Emo, hadirnya musik pop melayu, hingga kemunculan musik elektronik yang masih merajai hingga kini tak bisa dielakkan. Berbicara sepakbola, hal itu juga dialami klub-klub medioker kuda hitam seperti Bolton. Perputaran tren musik, fashion, dan bagi sepakbola juga dialami tim-tim semenjana. Klub-klub mapan? Tak ubahnya seperti musik pop. Selalu berada di atas, selalu mendominasi, tapi bukankah kadang membosankan?
Barangkali benar apa yang pernah dikatakan oleh seorang Ferdinand Porsche: “Change is easy, but improvement is more difficult.”
Gagal berkembang secara klub, dihantam persaingan klub-klub yang muncul dengan pendekatan lebih baik, Bolton resmi terdegradasi pada musim kompetisi ini ke divisi ketiga Inggris, League One. Sebelumnya mereka mengalami nasib malang – yang mereka ciptakan sendiri – yakni masalah finansial. Baca: https://ligalaga.id/cerita/bolton-wanderers-riwayatmu-kini/
Misi Marching Menuju Maut
Kehidupan kadang keras seperti batu, tapi harus tetap bergulir dan bergerak. Salah satu yang penulis sukai dari filosofi Rock’n’roll. Dalam hal ini, itu pulalah yang dilakukan Bolton Wanderers.
Bolton memulai musim ini dengan keadaan compang camping, hanya menyisakan 3 pemain senior di kuat, staf kepelatihan dan klub yang tak digaji dan makan dari pemberian masyarakat dan suporter Bolton, lapangan yang tak bisa dipakai, juga air dan listrik yang padam akibat tagihan menunggak. Tagihan keamanan polisi yang belum dibayar, termasuk tagihan mobil ambulans kepada rumah sakit setempat. Belum lagi dihadapkan keadaan bahwa mereka dijatuhi sanksi pengurangan 12 poin.
Tapi apa yang terjadi di stadion Bolton – karena terlalu aneh menyebut nama stadionnnya yang tiap beberapa tahun sekali berganti nama – cukup mengharukan. Selain tiga nama senior yaitu kiper Ben Alnwick, sang kapten Jason Lowe, serta Luke Murphy, pemain-pemain Bolton lebih banyak diisi skuat muda karbitan dari akademi lantaran kehilangan 16 pemain mereka yang dilepas secara gratis. Bolton pun harus buru-buru melengkapi skuatnya untuk menghadapi League One 2019/2020 sampai-sampai saat penutupan pendaftaran ke badan liga, EFL, mereka mendapat keringanan mendaftarkan 3 pemain tambahan.
Simak sesi perkenalan pemain yang diadakan mereka yang diadakan pada dua pekan lalu.
“Nama saya Yoan,” coba Yoan Zouma memperkenalkan diri kepada seisi stadion yang penuh sesak belasan ribu penonton. Yoan adalah adik kandung dari Kurt Zouma, yang lebih beruntung karena bisa bermain untuk klub kaya raya ibu kota, Chelsea.
“Hai, nama saya Liam dan ini adalah Josh,” ujar Liam Edwards memperkenalkan rekannya Josh Earl yang musim ini dipinjam Bolton dari klub Championship, Preston North End mengutip laman Guardian.
Nampak seperti perkenalan yang tak lazim untuk klub “sebesar” Bolton. Biasanya, perkenalan seperti itu lazim dilakukan klub kompetisi Sunday League alias pertandingan amatir. Bukan apa-apa, kalau tidak mengenalkan diri, publik tidak akan mengenal siapa mereka. Skuat asuhan Phil Parkinson diisi rataan usia 21 tahun. Salah satu pemain paling muda mereka, Joe White, masih berusia 17 tahun. Saking asingnya, laman wikipedia pun sampai tak tahu kapan tanggal lahirnya.
Bau mesiu minyak tanah
Cepat menyulut bara amarah
Sang jenderal cuma merapikan kerah sementara kita berlumuran…
Darah nanah..
Potongan lirik di atas juga seakan menggambarkan apa yang terjadi di kubu Bolton. Mereka harus berperang tanpa amunisi memadai. Sebuah misi yang tak mungkin dimenangkan, layaknya berbaris menuju kematian, Marching Menuju Maut.
Tragedi yang menimpa Bolton adalah buah dari ketidakbecusan sang pemilik, Ken Anderson yang gagal mengelola klub, menumpuk utang, mengkir dari kewajiban menggaji, termasuk ketika pemilik klub Forest Green marah besar dan menyebutnya sebagai “Si pemilik penipu” karena tidak menggaji pemain yang dipinjam dari klubnya.
Dihukumnya Ken Anderson dan kesulitan finansial berakibat vakumnya kursi kepemilikan. Untuk sementara waktu, jajaran manajeman Bolton diisi oleh administratur sementara (in administration) yang disetujui oleh EFL selaku operator kompetisi. Ini juga berarti Bolton memiliki status tanpa pemilik.
Bayangkan rasanya menjadi seorang fans Bolton yang terpaksa dijarah kebanggannya terhadap kesebelasan yang mereka cintai. Hebatnya, bahkan tiket laga perdana mereka di League One kontra Wycombe terjual habis. Begitupun dengan para pemainnya, yang terpaksa bertempur walaupun mereka tahu ini adalah misi peperangan yang mustahil dimenangkan.
Tulisan ini akan ditutup dengan lirik bagian chorus dari lagu Marching Menuju Maut yang secara kebetulan menggabarkan keadaan yang sama:
Oh tanah ini tak bertuan, yeah
Oh mata buta telinga tak mendengar
Yang terucap cuma janji palsu, palsu, palsu
Terlalu lama kita menunggu, yeah
Terlalu lama
Kita menunggu
Menunggu
Datangnya
Ajal..
Marching menuju maut!