Perancis sukses menjadi juara Piala Dunia untuk kedua kalinya seusai menundukkan Kroasia dengan skor akhir 4-2 di Moskow Rusia, Minggu (15/07) malam WIB kemarin. Sebelumnya Les Bleus pernah menjadi juara di kompetisi yang sama dua dekade lalu, kala ditunjuk sebagai tuan rumah.
Tentu kesuksesan ini patut dirayakan sebab Perancis selalu gagal pasca kemenangan di 1998 lalu. Paling tinggi menjadi juara kedua di Piala Dunia 1006 Jerman, kalah dari Italia di babak final. Sisanya, tersingkir pada fase grup di Korea-Jepang dan Afrika Selatan, dan kandas di perempat-final Piala Dunia 2014 Brazil.
Satu-satunya hiburan mungkin trofi Euro 2000 Belanda dan gelar yang sama hampir diraih di 2016 silam. Sayangnya pada edisi dua tahun lalu tuan rumah Perancis harus mengakui Portugal sebagai kampiun.
Atas keberhasilan menggondol trofi Piala Dunia 2018 Rusia, Presiden Emmanuel Macron yang menyaksikan secara langsung di stadion, langsung berjanji akan memberikan penghargaan Ordre national de Legion d’honneur alias Legion of Honour.
Apa Itu Legion d’honneur?
Legion of Honour (dalam bahasa Inggris), adalah penghargaan tertinggi yang ada di negara Perancis bagi sosok militer atau sipil yang memberikan kontribusi penting bagi negara. Artinya tidak sembarang orang bisa mendapatkan titel tersebut.
Penghargaan ini mulai muncul di Revolusi Perancis, kala semua tanda penghargaan dan gelar aristrokat dihapuskan oleh Kaisar kala itu, Napoleon Bonaparte atau yang biasa disebut Napolen Pertama. Tapi bukan berarti tidak ada penghargaan tinggi sama sekali, sebab ada Weapons of Honour sebagai penggantinya.
Namun Weapons of Honour diganti dengan penghargaan yang baru, yaitu Legion d’honneur alias Legion of Honour karena Napoleon melihat pentingnya sebuah penghargaan demi mendorong semangat juang para prajurit.
“Anda menyebut semua ini pernak-pernik semata, [padahal] dengan pernak-pernik itu lah para prajurit dipimpin. Apakah Anda berfikir bahwa Anda mampu membuat para prajutit berjuang dengan alasan semata? Tidak pernah. Itu hanya bagus bagi studi para akademisi. Para prajurit membutuhkan kemenangan, pembeda dan penghargaan,” ucap Napoleon, seperti dikutip dari buku Memories of the Consulate karangan Antoine Claire Thibaudeau.
Perubahan kepemimpinan Perancis membuat penghargaan Legion of Honour berubah dan bahkan menduduki peringkat kedua di belakang Order of the Holy Spirit kala Raja Louis XVIII berkuasa. Akan tetapi kala Luis-Napoleon Bonaparte atau yang biasa disebut Napoleon Ketiga berkuasa, penghargaan ciptaan pamannya, Napoleon Pertama, Legion of Honour kembali dibangkitkan dan menduduki peringkat pertama sebagai penghargaan tertinggi.
Penghargaan Legion d’honneur mempunyai tingkatan masing-masing. Ada Chevalier (Kesatria) sebagai posisi terendah, Officier (Perwira), Commandeur (Komandan), Grand-officier (Perwira Tinggi) dan tertinggi ada Grand-croix (Perwira Terpilih).
Tentu tiap tingkatan mempunyai pembeda, baik dari segi insignia dan juga uang hadiah. Chevalier berbentuk lambang dengan pita merah di dada kiri, Officier berbentuk pingat berpita merah di dada kiri dan Commandeur disematkan di sekeliling leher. Sedangkan untuk Grand-officier lencana disematkan di dada kiri oleh pita merah tapi disertai bintang di dada kanan. Sedangkan Grand-croix memakai bintang emas di dada kiri disertai pita merah dari pundak kanan ke pinggang kiri.
Dari Anggota The Beatles Hingga Piala Dunia 1998
Pemberian Legion d’honneur tidak hanya diberikan bagi masyarakat Perancis saja. Banyak sosok-sosok berpengaruh di luar Perancis yang mendapatkan penghargaan tersebut. Bahkan sosok yang menentang penjajahan Perancis pun mendapatkan penghargaan tersebut, seperti yang dialami oleh Emir Abdelkader bin Muhieddine, seorang sufi dan pemimpin mileter Aljazair karena menyelamatkan komunitas Kristen dari pembantaian di Damaskus.
Penyanyi asal Amerika Serikat, Barbra Streisand, pernah dianugerai penghargaan Legion of Honour. Begitu pula salah satu anggota The Beatles, Paul McCartney pada 2012 silam, setelah sebelumnya pernah dianugerai gelar ningrat dari Kerajaan Inggris pada 1997 sehingga harus dipanggil dengan Sir di awal kata, seperti yang terjadi pada Sir Alex Ferguson.
Yang menarik adalah pencopotan gelar kehormatan presiden Suriah Bashar al-Assad pada April kemarin. Seperti dikutip dari The Guardian, Presiden Assad diyakini mempergunakan senjata kimia untuk berperang sehingga pemerintah Perancis merasa Presiden Assad melanggar apa yang menjadi alasan pemberian penghargaan tersebut di 2001 silam. Selain itu presiden Rusia Vladimir Putin pun mempunyai penghargaan tertinggi yang sama seperti Assad dan sama-sama dianugerahi tanpa sepengetahuan masyarakat oleh presiden Perancis terdahulu, Jacques Chirac.
Rasisme dan Xenophobia
Sebagai sekelompok orang yang membawa harum nama Perancis dengan menjadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya, skuat Aime Jacquet mendapatkan penghargaan Legion of Honour dari Presiden, Jacques Chirac, September 1998. Uniknya, Chirac-lah yang melobi Perdana Menteri Edouard Balladur agar Stade de France dibangun demi Piala Dunia 1998, kala ia masih menjabat Walikota Paris.
“Ini lah [masyarakat] Perancis [secara keseluruhan] yang menjadi juara dan untuk pertama kalinya, bersatu dalam kemenangan,” ucap presiden Chirac kala itu, seperti dikutip dari CNN.
Ya, skuat 1998 menjadi sebuah keunikan tersendiri sebab berisikan pemain-pemain kelahiran non Perancis, seperti Afrika Utara, Afrika Barat, Karibia, Kepulauan Pasific, Armenia dan Basque Spanyol. Sebuah mata air berharga di tengah-tengah problema rasisme. Sudah jadi rahasia umum jika negara Perancis kerap terbentur oleh aksi-aksi rasisme, baik karena alasan etnis atau pun agama. Seperti dinukil dari Independent, diskriminasi dan juga meningkatnya imigran menjadi penghalang menurunnya angka pengangguran dan meningkatkan angka rasisme.
Sialnya permasalahan yang ditimbulkan oleh perbedaan ras dan agama ini menjadi kekuatan utama bagi politisi sekelas Jean-Marie Le Pen dari Front Nasional. Di 2002 silam, sebelum Les Bleus terbang ke Korea-Jepang, para anggota timnas Perancis atau yang kala itu disebut tim pelangi, khawatir dengan meningkatnya popularitas Le Pen karena dianggap bisa menghancurkan keharmonisan yang diciptakan oleh kemenangan di 1998.
“Seperti kebanyakan masyarakat Perancis, saya kaget [dengan hasil jajak pendapat presiden yang menempatkan Le Pen di belakang Chirac]. Saya harap masyarakat Perancis mempergunakan akal pikirannya dan tidak memilih dia,” ucap Marcel Desailly, pada laman resminya di 2002 dan dinukil dari CNN.
Baca juga: Tidak Ada Pribumi di Sepakbola Prancis
Untuk diketahui bahwa Front Nasional dan Barisan Nasional mempunyai kebijakan yang sama atau hampir mirip, yaitu penolakan terhadap imigrasi, anti asing, tanpa toleransi terhadap penegakan hukum dan ketertiban dan anti globalisme. Serupa seperti yang dijalankan oleh presiden Amerika Serikat, Donald Trump karena sama-sama sayap kanan.
Kini Marine Le Pen, anak dari Jean-Marie Le Pen, kembali dihadapkan dengan isu serupa seperti dua dekade silam. Tahun lalu Marine mendapatkan 10 juta suara bagi Barisan Nasional, jelmaan Front Nasional. Sebuah angka besar yang bahkan belum pernah dicapai oleh Front Nasional. Jika dahulu kesuksesan Les Bleus mendapatkan perlawanan dari Jean-Marie Le Pen, kini sebaliknya, Marine Le Pen harus berjuang dengan kesuksesan di Rusia.
Semboyan Liberte, Egalite, Fraternite (kebebasan, keadilan, persaudaraan) yang lahir dari Revolusi Perancis dan menjadi motto resmi Pemerintah Perancis pun berubah menjadi “Liberte, Egalite, Mbappe” dari mulut para penonton di Champs-Elysees kala skuat Didier Deschamps membungkam Argentina berkat dua gol Kylian Mbappe. Pun gol semata wayang Samuel Umtiti, bek kelahiran Kamerun, membawa Perancis menang atas Belgia di babak semi-final.
Sebetulnya kritikan bernada rasis sudah tercium kala Didier Deschamps mengumumkan skuat yang akan dibawa ke Rusia. Dari 23 pemain, lima diantaranya hanya berkulit putih berjuluk ‘Français de souche‘ (stok lama Perancis), walau termasuk nama Antoine Griezmann, seorang striker berdarah Jerman dan Portugal.
Kala Karim Benzema dicoret oleh Deschamps dari skuat Les Bleus untuk Euro 2016 dianggap berdasarkan alasan rasis oleh striker Real Madrid tersebut.
“Dia [Deschamps] menyerah terhadap tekanan dari pihak pelaku rasis di Perancis,” ungkap Benzema kala itu, seperti dikutip dari Marca.
Sontak Patrice Evra membantah dan menyebut sang juru taktik sangat terbuka dengan perbedaan ras dan agama. Padahal Deschamps memutuskan mencoret Benzema agar penyerang itu bisa sepenuhnya berkonsentrasi kepada kasus tuduhan pemerasan terhadap Mathieu Valbuena.
Hingga saat ini rasisme dan sepakbola kerap sulit dipisahkan. Namun diperparah oleh manuver-manuver politik rasisme dengan menjadikan sepakbola dan olahraga secara umum sebagai komoditas untuk mencapai kekuasaan. Padahal sepakbola sendiri memberikan pelajaran berarti, bahwa 11 orang pemain berbeda bisa mencapai satu tujuan andai mempunyai kesamaan visi.