Red Bull Depok, Bukti Orang Indonesia Menggemari Klub “Franchise”

Di suatu sore pertengahan April lalu, jemari saya langsung terhenti menyapu layar sentuh gawai. Penyebabnya, melihat salah satu retweet teman saya di linimasa Twitter. Isi twit tersebut adalah tentang “rencana” kehadiran salah satu franchise fenomenal di dunia sepakbola dunia, Red Bull, ke Indonesia tepatnya ke kota Depok. Tak tanggung-tanggung, sebuah akun yang belum terverifikasi menggunakan nama @RedBullDepokFC !

Melalui laman sosial media nya, pihak Red Bull Depok menunjukkan usaha mereka bukanlah gurauan setelah mengumumkan kesepakatan sponsor kostum dengan apparel lokal, QJ Apparel.

Dalam akun Instagram tersebut, mereka bahkan memposting sebuah draf desain kostum kandang Red Bull Depok. Bahkan, lewat akun sosial medianya, mereka sempat mengeluarkan statement lewat juru bicara “klub” bahwa pihaknya sedang “melakukan penjajakan” dengan pihak Red Bull di Eropa.

Menariknya, pada 29 April 2020, mereka lantas mengubah nama akunnya dari “RedBull Depok” menjadi RB Depok FC. Bahkan, mereka mengubah logo yang menyertakan logo khas minuman energi tersebut (dua banteng yang saling berhadapan) menjadi satu banteng menghada ke kiri, juga hanya menyertakan tulisan “RB”.

Langkah tersebut sangat beralasan. Tanpa seizin Red Bull GmBH, orang-orang di yang terlibat di belakang Red Bull Depok berpotensi melanggar atas undang-undang hak cipta dan undang-undang terkait penggunaan merek. Bisa jadi, alih-alih menjalin “komunikasi” dengan orang Red Bull, mereka malah dituntut terlebih dulu oleh si mpu-nya karena campaign ini.

Model Multi Club Ownership dari Eropa (Belum) Saatnya Ada Di Indonesia

Apa yang dilakukan oleh Red Bull GmbH yang berpusat di Austria dengan mengakuisisi beberapa klub di berbagai belahan dunia ini disebut Multi Club Ownership (MCO). Sampai sejauh ini, Red Bull sudah memiliki berbagai klub, Rasenball Sport Leipzig (RB Leipzig), Red Bull Salzburg di Austria, New York Red Bulls di Amerika Serikat, Red Bull Bragantino (merger antara Red Bull Brasil dengan CA Bragantino), Red Bull Ghana, serta yang terakhir FC Liefering di Bundesliga 2 Austria.

MCO adalah suatu model bisnis kepemilikan beberapa klub sepakbola di bawah nanungan satu perusahaan atau pemilik yang sama. Model ini juga dilakukan oleh City Football Group yang menaungi Manchester City, New York City FC, Melbourne City juga King Power International yang menaungi Leicester City dan OH Leuven, dan banyak lagi model-model seperti ini.

Simon Chadwick, Profesor dari Salford University yang fokus dalam bidang sports enterprise, mengungkapkan bahwa MCO ini adalah cara mudah bagi klub untuk mendapatkan pemain bertalenta. Jika umumnya pemain bertalenta didapatkan setelah seorang talent scout melakukan blusukan, dengan bentuk bisnis MCO ini informasi mengenai pemain bertalenta lebih mudah didapat.

Jadi lebih dipahami, RB Leipzig yang bermain di kompetisi top seperti Bundesliga Jerman adalah klub yang paling mendapatkan prioritas oleh Red Bull. RBL sendiri bahkan berkali-kali “mengambil” talenta-talenta berbakat dari “feeder” klubnya sepereti Hannes Wolf, Amadou Haidara, Konrad Laimer, atau Dayot Upamecano dari RB Salzburg.

Ini juga membuka peluang RB Leipzig menjadi produsen pemain-pemain berbakat di seantero Eropa. Contoh yang paling mutakhir adalah penjualan Naby Keita ke Liverpool yang nilai transfernya ditaksir lebih dari 59 juta euro (dengan opsi klausul).

Hal serupa pun terjadi di klub milik Red Bull lainnya, Red Bull Salzburg yang berlaga di Austrian Bundesliga. Selain mengambil beberapa pemain dari akademinya, mereka juga tak jarang mengambil talenta dari Red Bull Brasil (kini RB Bragantino), serta beberapa pemain dari West African Football Academy, Ghana, yang juga merupakan feeder klub dari Feyenoord Roterdam. Maka tak heran, keputusan Red Bull mendirikan klub Red Bull Ghana didasari dari banyaknya talenta-talenta berbakat Benua Afrika di Ghana.

Lalu bagaimana dengan Red Bull Depok seandainya itu benar terjadi? Rasa-rasanya tak ada keuntungan yang berarti bagi Red Bull GmbH untuk mendirikan klub di Indonesia.

Talenta-talenta Indonesia, masih berada jauh di bawah level standar kompetisi Eropa. Alih-alih mendapatkan keuntungan dari “pembibitan” pemain berbakat Asia, mereka akan langsung mencari talenta-talenta dari Asia Timur seperti Korea Selatan atau Jepang untuk masuk ke salah satu klub yang dimilikinya.

Hingga kini pun talenta Asia yang dimiliki RB Leipzig dan RB Salzburg misalnya, masih direkrut langsung dari klub-klub lainnya secara direct. Dua talenta Asia yang dimiliki RB Salzburg misalnya, Takumi Minamino (kini bermain di Liverpool) direkrut dari Cerezo Osaka. Sementara bomber andalan mereka asal Korea Selatan, Hwang Hee-chan, direkrut dari akademi klub K-League, Pohang Steelers.

Belum lagi jika ditambah persoalan kompetisi di Indonesia yang kadang tidak jelas. Ditambah kasus hukum ini-itu yang kerap terjadi di persepakboaan kita, pembajakan merchandise, atau pengunaan logo resmi klub yang masih belum jelas kepastian hukumnya.

Minuman bermerek Red Bull sendiri di Indonesia masih kalah jauh popularitasnya dengan merk yang menginspirasi mereka, Kratingdaeng asal Thailand. HIngga saat ini, Red Bull hanya populer di kalangan masyarakat menengah perkotaan saja. Red Bull di Indonesia sejauh ini masih berkutat di segmen olahraga ekstrem seperti skateboard, sepeda BMX, juga selancar.

Mungkin hingga Indonesia mampu menjadi langganan peserta Piala Dunia, rasanya ide model bisnis MCO dari Eropa di Indonesia adalah cara yang cepat untuk membuat sebuah perusahaannya bangkrut.

Fenomena Red Bull, Menggemari Klub Franchise

Persoalan benar atau tidaknya Red Bull akan terjun ke sepakbola Indonesia, sebenarnya tak penting-penting amat. Meskipun harus diakui, ini adalah bukti bahwa sebagian publik sepakbola Indonesia masih menggemari model franchise ketimbang klub tradisional (yang harus susah payah merangkak dari divisi bawah).

Faktor paling utamanya adalah: Dahaga publik sepakbola akan trofi sepakbola. Kultur sepakbola Indonesia yang mengagung-agungkan trofi dibanding kebanggaan mendukung klub lokal adalah salah satu penyebabnya.

Baca juga: Fenomena klub “AFC” di Inggris: Resistensi, dan Pentingnya Mendukung Klub Lokal

Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat Indonesia yang besar ketika ada klub-klub yang lisensinya “dibeli” dari klub lain. Di Liga1 musim ini misalnya, ada beberapa nama seperti Bali United (dulu Persisam Putra Samarinda), Borneo FC (dulu Perseba Super Bangkalan), Madura United (dulu Pelita), Persikabo 1973 (dulu Persiram kemudian PS TNI), Bhayangkara FC (dulu Persikubar).

Persamaan yang bisa dilihat adalah ambisi klub-klub tersebut untuk menjuarai liga teratas di Indonesia dengan benyak memboyong pemain-pemain top. Hal ini juga berdampak pada kurangnya antusias masyarakat lokal terhadap klub-klub yang “asli” berada di daerahnya.

Fenomena ini bukan persoalan salah atau benar (toh semua pilihan klub sepakbola adalah hak masing-masing, kan?)

Akan tetapi hal ini bisa dimaknai akan kegemaran masyarakat Indonesia terhadap klub-klub dengan dukungan pemodal besar. Singkatnya, kompetisi membutuhkan banyak suntikan dana agar kompetisi semakin menarik dan dari sisi penggemar sepakbola yang haus kemenangan, ini membuat mereka semakin bergairah.

Di saat masyarakat sepakbola Inggris banyak mencibir MK Dons karena membeli lisensi Wimbledon FC, masyarakat Austria dan Jerman mencibir RB Leipzig dan RB Salzburg karena telah bertanggung jawab “menghapuskan” sejarah klubnya, tampaknya sebagian publik sepakbola Indonesia tak peduli akan itu. Mereka seakan berkata: “Jangan ngomongin sejarah, kayak fans Liverpool aja lu!”