Setelah didepak dari Manchester United, Jose Mourinho kembali mencari lahan baru untuk dikuasai. Inggris, Spayol, Italia, sudah pernah dicicipi. Dari lima liga utama yang populer di Eropa, hanya dua yang belum pernah ia rasakan: Jerman dan Prancis.
Mourinho sendiri mengaku tertarik mencoba atmosfer kompetisi Ligue 1, Prancis. “Memiliki pengalaman di empat negara, saya senang merasakan atmosfer kompetisi yang berbeda. Belajar tentang budaya negara tersebut. Saya membayangkan menangani kesebelasan di Ligue 1,” kata Mourinho.
Pergi dari Old Trafford, Mourinho bukan serta-merta menganggur. Ia sebenarnya memiliki banyak tawaran. Mulai dari Real Madrid hingga Benfica disebut sempat mendekati dirinya. Namun keduanya tidak memberikan suasana baru. Mourinho pun tidak keberatan untuk menganggur dua atau tiga bulan.
“Tidak menangani kesebelasan apapun selama beberapa bulan tidaklah masalah. Setelah itu saya akan kembali lebih kuat lagi. Saat ini saya ingin menikmati hidup dengan keluarga dan teman-teman,” aku the Special One.
Salah satu situs taruhan, Sky Bet memprediksi Mourinho akan menangani salah satu dari lima kesebelasan di tiga negara. Mereka adalah Inter Milan, Everton, Bayern Munchen, AS Monaco, dan Paris Saint-Germain (PSG).
Jawara Liga Champions 2003/2004 dan 2009/2010 itu mengaku baru akan memutuskan klub barunya di musim panas 2019. Namun bedasarkan pengakuannya, sejauh ini kita dapat mencoret Inter dan Everton dari persaingan. Pasalnya kedua kesebelasan itu tak memberi suasana baru untuk Mourinho. Sama seperti Benfica dan Real Madrid.
Mencari alasan untuk memprediksi penolakkan Mourinho terhadap Bayern Munchen dan AS Monaco sebenarnya sederhana. Monaco baru kembali menunjuk Leonardo Jardim. Bersama Jardim, Radamel Falcao bersama kolega berhasil naik dari zona degradasi Ligue 1 2018/19.
Sulit rasanya mereka menolak Jardim bertahan hanya karena Mourinho tertarik ke Ligue 1. Apalagi AS Monaco kemungkinan besar tidak akan bisa memberi dana belanja besar untuk nakhoda mereka.
Sementara Bayern Munchen bisa disebut sebagai kesebelasan tanpa ambisi. Status mereka di liga hanya dapat disentuh oleh Borussia Dortmund. Piala Liga Champions juga bukan jadi prioritas mengingat Die Roten sudah tiga kali masuk final dalam delapan tahun terakhir.
Perlu diingat juga bahwa Hasan Salihamidzic selaku direktur olahraga Bayern memiliki keinginan untuk regenerasi di musim 2019/20. Nama-nama pemain muda seperti Luka Jovic, Matthijs de Ligt, dan Callum Hudson-Odoi jadi incaran utamanya.
Terlepas dari kepercayaan populer, Mourinho sebenarnya tidak terlalu buruk dengan pemain muda. Mulai dari Ben Sahar dan Sam Hutchinson hingga Arjen Robben dan Obi Mikel diberi tempat oleh Mourinho di Chelsea. Begitu juga dengan Davide Santon, Mario Balotelli, Jese, Alvaro Morata, Raphael Varane, dan lain-lain.
Akan tetapi jika Mourinho memilih Bayern, tidak ada sebuah pembuktian yang ia lakukan. Dirinya tidak ‘kembali lebih kuat’ seperti janjinya. Oleh karena itulah Mourinho harus pilih PSG sebagai pelabuhan berikutnya.
Pengalaman Galacticos
Foto: Fox Sport Asia
Mourinho mungkin bukan nakhoda seperti Zinedine Zidane. Ia mungkin tidak dekat dengan para pemainnya. Selalu menganggap dirinya sebagai komando nomor satu. Melihat lainnya sebagai bawahan.
Namun, Mourinho pernah datang ke Real Madrid di tengah era Galacticos II, mengasuh pemain-pemain tenar seperti Ricardo Kaka, Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, Angel Di Maria, dan Xabi Alonso.
Bersama Mourinho, Real Madrid berhasil mengangkat semua piala di Spanyol. Termasuk satu-satunya gelar La Liga pada era Galacticos II yang berlangsung selama periode 2009 hingga 2014. Sekalipun setelah itu para pemain mungkin membalikkan punggung mereka,
Mourinho adalah alasan mengapa Los Blancos bisa tetap di Atletico Madrid sekalipun harus bersaing dengan Barcelona asuhan Pep Guardiola. “Mourinho memiliki konsep yang jelas, dan dia membantu kami untuk terus berkembang. Dirinya seperti seorang Bapak di Real Madrid,” kata Cristiano Ronaldo di masa-masa harmonis mereka.
Perlahan hubungan Cristiano dan Mourinho memang merenggang. Meski tidak memberikan kesenangan di ruang ganti, Mourinho jelas mengedepakan sepakbola dan menegaskan hal itu ke para pemainnya.
Saat PSG diisi individu-individu yang haus akan lampu sorot, the Special One dapat membuat Neymar dan kawan-kawan mengerti bahwa sepakbola adalah tujuan utama mereka datang ke Paris.
Seperti kata mantan gelandang Prancis, Emmanuel Petit, “PSG butuh sosok yang otoriter. Semua pemain yang pernah membela kesebelasan kelas dunia, termasuk saya bisa melihat bahwa masalah PSG bukanlah talenta. Namun sikap dari beberapa pemain mereka. Itu jadi alasan mereka selalu gagal”.
Label The Special One
Foto: Twitter / @ChampionsLeague
Saat Mourinho datang ke Chelsea, ia sendiri mengatakan bahwa dirinya adalah ‘The Special One’. “Presiden klub mungkin mengatakan saya sombong. Akan tetapi saya adalah jawara Eropa. Saya adalah ‘the Special One'”.
Label itu terus tertempel di punggung Mourinho. Sialnya, ia memiliki kebiasaan buruk di ruang ganti. Membuat atmosfer menjadi kelabu. Entah itu di Real Madrid atau Manchester United. Alhasil, setiap kali Mourinho gagal, terutama di musim ketiga bersama satu klub tertentu, label ‘the Special One’ selalu dipertanyakan.
Melihat kondisi PSG yang sebenarnya sudah cukup suram, Mourinho tidak akan dinilai dari aksinya di ruang ganti. Melainkan dengan meraih apa yang belum pernah diraih nakhoda lain sepanjang sejarah Les Parisiens -julukan PSG-: Liga Champions.
PSG memiliki segalanya untuk menjadi kesebelasan terbaik di Eropa. Uang, talenta, pamor, segalanya, kecuali sosok otoriter seperti Mourinho. Andaikan Mourinho datang ke Parc des Princes dan memberikan gelar juara Liga Champions, ia bukan hanya mewujudkan impian Nasser Al-Khelaifi tapi juga memperbaiki citra dirinya.
Menegaskan bahwa hanya dia ‘the Special One’ dan akan selalu seperti itu. Setelah itu, terserah Mourinho mau ke mana. Menangani Bayern Munchen, Inter Miami FC milik David Beckham, reuni dengan Drogba di Phoenix Rising, kembali ke Setubal dan melatih Vitoria, pensiun? Terserah dia. Dia ‘the Special One’!