Musim 2007/2008, mungkin akan dikenang penggemar Manchester United sebagai musim yang fantastis. United sukses merengkuh dua gelar juara dalam satu musim: Premier League dan Champions League. Namun di musim yang sama, Derby County mengalami degradasi dengan cara yang ironis. Mereka cuma memeraih satu kemenangan dan menelan 29 kali kekalahan. Ini adalah rekor terburuk yang belum pernah dipecahkan hingga kini.
Satu musim setelahnya, klub tertua nomor dua di Inggris, Stoke City, mendapatkan tiket promosi ke Premier League. Banyak yang meramalkan nasib klub yang berasal dari Staffordshire ini akan bernasib sama dengan Derby County. Pasalnya permainan Stoke yang saat itu diasuh oleh Tony Pulis dianggap sebagai salah satu klub dengan cara bermain paling membosankan.
Musim 2008/2009, menjadi musim yang layak dikenang oleh mereka yang terkesima bagaimana Stoke City memainkan sepakbola mereka. Bola panjang, permainan keras di tengah, dan tentu saja lemparan ke dalam yang sangat khas dari Stoke City, menghiasi Premier League musim itu. Dan di tepi lapangan, ada pria dengan topi dan tracksuit panjang khasnya bernama Tony Pulis. Belum lagi, angin kencang dan hujan yang selalu hadir di Brittnia Stadium.
Tony Pulis, Pria Inggris Klasik dan Filosofinya
Membahas Stoke City, tentu tidak akan lepas dari Tony Pulis. Pulis merupakan salah satu manajer yang mendapatkan lisensi UEFA A Coaching di usia muda, 21 tahun. Ketika masih aktif bermain, Pulis identik dengan permainan keras dan mengandalkan fisik.
Permainan Pulis berubah ketika di Bristol Rovers, di mana ia bertemu Ian Holloway. Gelandang Bristol Rovers yang memengaruhi cara melatih Pulis di kemudian hari. Ian Holloway sendiri dikenal sebagai manajer yang membawa Blackpool promosi ke Premier League. Pulis kemudian pensiun bermain pada 1992.
Tidak ada yang mengenang Pulis sebagai pemain apik. Harry Redknapp yang pernah menangani Pulis di Bournemouth, pernah berkata bahwa Pulis bukanlah pemain dengan teknik bagus. “Ia bermain dengan fisik tanpa menggunakan akalnya. Dia bahkan tidak bisa melakukan passing lebih dari 10 meter,” kenang Redknapp.
Baca juga: Manajer Britania yang Semakin Tidak Laku di Inggris
Masuk di dunia manajerial, Pulis menerapkan apa yang ia pelajari selama aktif bermain. Sepakbola bertahan dengan bola direct ke depan. Bola-bola mati adalah kunci bagi Pulis mencetak gol. Permainan inilah yang membuat para fans klub-klub yang diasuhnya berang. Permainan Pulis yang monoton dengan umpan panjang bukanlah hal yang disukai. Tidak terkecuali di Stoke City.
Stoke City yang diasuh Pulis mulai musim 2002/2003, bukanlah klub yang disukai baik suporter maupun lawan. Bertahan yang menjadi landasan Pulis memainkan sepakbola yang membosankan. Bahkan musim 2003/2004 Pulis mencatatkan hasil biner 1-0,0-1,0-0 selama 10 pertandingan berturut-turut. Fans mengceam Pulis saat itu. Pulis pun akhirnya mengundurkan diri pada akhir musim 2004/2005.
Hanya bertahan satu musim, Stoke kemudian menunjuk kembali Pulis. Targetnya, bertahan di Championship Division. Pulis menjawab semua keraguan akan filosofi bermainnya dengan membawa Stoke promosi ke Premier League musim 2008/2009. Pencapaian ini juga tetap diikuti hasil biner Stoke 1-0,0-1 atau 1-1 khas Pulis. Bahkan “Pulisball” menjadi trademark yang melekat di Stoke City selama beberapa musim setelahnya.
Baca juga: 20 Fakta Tony Pulis
Pendekatan Taktik, Strategi dan Kondisi Lapangan
Pulisball tidaklah rumit. Ia bermain dengan 4-4-2 di mana 4 kuartet pemain belakang akan bermain ke dalam dan menjaga kotak penalti. Di depannya ada 4 gelandang yang juga menjaga kedalaman. Arsene Wenger pernah mengeluh bahwa Stoke bermain dengan delapan bek dan dua striker.
Pulis memang hobi menumpuk pemain di wilayah pertahanan. Dua striker mereka diisi oleh pemain dengan tipikal kuat di duel fisik, meskipun tidak memiliki kecepatan mumpuni, bisa dipastikan striker-striker Stoke City adalah striker yang siap beradu fisik dengan bek manapun untuk memenangkan bola.
Musim pertama Pulis bersama Stoke di Premier League membuat orang sedikit asing. Memang nuansa Kick and Rush yang saat kental di Stoke berbanding terbalik dengan klub-klub Premier League yang mulai meninggalkan strategi tersebut dan mengantinya dengan permainan umpan-umpan pendek. Belum selesai kejutan Stoke City, masih ada lemparan ke dalam khas Rory Delap yang mengejutkan semua kesebelasan.
Baca juga: Rory Delap, Si Pelempar Jarak Jauh
Kemampuan Delap dalam melakukan lemparan kedalam memang luar biasa. Ia bisa melempar sejauh 40 yard dan itu disadari Pulis. Kemampuan Delap menambah satu lagi peluang bagi Stoke mencetak gol.
Tentu masih ingat bagaimana lemparan jauh Delap membuat pertahanan Arsenal kocar-kacir dan Arsenal menelan kekalahan 1-2 lewat dua asis Delap melalui skema lemparan ke dalam. Setelahnya Stoke sangat menakutkan semua kesebelasan dengan peluang lemparan kedalam khas Delap. Ditambah lagi, ball-boy yang selalu membawa handuk setiap Delap akan melakukan lemparan ke dalam. Tujuannya menjaga bola tidak lembab dan mudah dilempar. Yang anehnya ball boy ini selalu hilang tiap tim lawan mendapatkan lemparan ke dalam.
Strategi juga dilakukan oleh klub lewat lapangan yang mereka miliki. Britannia Stadium sama seperti Highbury, mengambil dimensi paling minimal dari standar lapangan yang diterapkan FIFA. Pendekatan lainnya adalah tinggi rumput yang sedikit lebih tinggi dibanding lapangan klub di Premier League. Tujuannya untuk menyulitkan penguasaan bola lawan yang menggunakan umpan-umpan pendek dan tentu saja tinggi rumput tidak berpengaruh bagi Stoke, toh mereka bermain bola-bola atas dan direct football.
Satu strategi lagi dengan memanfaatkan kondisi geografis Brittania Stadium. Stoke merupakan kota yang berangin kencang dan selalu hujan. Ini menguntungkan bagi tim karena mempermudah umpan-umpan panjang. Ini disadari pihak klub dengan sedikit menurunkan tinggi atap tribun dan membantu angin menaikkan bola. Ditambah dengan empat penjuru corner yang dibuat terbuka tanpa penghalang. Selain memberikan terror bagi lawan, kembali lagi angin akan lebih mudah masuk dan membuat bola lebih mudah naik.
Cold and Windy Night at Stoke adalah ungkapan terkenal dari Wenger mengenai kondisi Stoke yang seringkali hujan dan berangin kencang. Stoke musim 2008/2009 memang meraih catatan kemenangan tandang terburuk kedua. Namun pertandingan kandang mereka meraih catatan tertinggi keenam di akhir musim. Mereka bahkan finish diposisi ke-12 klasemen akhir atau dua tingkat di bawah Manchester City.
Kehilangan Pulis dan “Stokelona”
Filosofi Pulis pudar perlahan dengan semakin sulitnya bermain bola-bola direct di Premier League. Kini Stoke bermain penguasaan bola dan tidak lagi bermain Kick and Rush. Sejak musim 2012/2013, bola-bola atas berganti dengan umpan pendek namun cepat.
Pulis mendatangkan Charlie Adam dari Liverpool untuk mengomandoi permainan bola pendek cepat, ditambah kehadiran Bojan Krkic yang berasal dari Barcelona. Permainan Stoke pun berubah drastis dan ironisnya inilah yang membuat Pulis kemudian dipecat dari Stoke musim 2012/2013.
Stokelona kemudian menjadi julukan Stoke City di bawah pengganti Pulis, Mark Hughes. Nama Ibrahim Affelay dan Marc Muniesa didatangkan di era Hughes. Di era ini banyak yang memuji perubahan Stoke namun juga banyak yang menyayangkan hilangnya filosofi Pulis di Stoke.
“Stoke kehilangan Pulis dan itu merubah filosofi tim, Stoke kini tidak punya identitasnya, Mark(Hughes) memang bagus tapi Pulis jelas punya identitas kuat bersama Stoke,” ujar Paul Lambert di Sky Sports April silam.
Apa yang diutarakan Lambert benar adanya, selain identitas yang hilang. Stoke tidak punya taji seperti di awal kedatangan mereka di Premier League. Puncaknya musim lalu, Stoke harus degradasi ke Championship Division. Banyak suporter Stoke yang menyalahkan manajemen dengan memecat Pulis lima musim lalu. Namun banyak juga yang menyalahkan para pemain yang seolah kesulitan bermain di Britannia Stadium.
Tentu saja, Stoke memang tidak mencatatkan prestasi atau kejutan yang luar biasa untuk dikenang. Namun lemparan kedalam ala Delap, duel fisik Jonathan Walters, dan angin kencang plus hujan di Britannia Stadium, adalah hal yang akan diingat sebagai ciri khas dari Stoke City. Oh ya dan tentu saja sosok bertopi dan tracksuit di pinggir lapangan yang selalu berisik dan aktif, Tony Pulis.