De Klassieker (2): Friksi atas Nama Total Football dan Pengkhianatan

Foto: Squawka.com

Rivalitas Ajax Amsterdam dengan Feyenoord Rotterdam ini sudah berlangsung lama. Sejatinya, kedua kesebelasan itu sudah bertemu untuk pertama kali di era 1920-an pada periode Perang Dunia I. Namun bila dikerucutkan pada ajang Eredivisie, rivalitas mulai mengepul pada 1950-an dan akhir 1960-an.

Puncak rivalitas panas antara Ajax dengan Feyenoord terjadi pada awal 1970-an. Kala itu, masing-masing klub yang jadi penguasa di Belanda sukses menembus empat partai final Piala Eropa (sekarang Liga Champions) secara beruntun dan satu final Piala UEFA (kini Liga Eropa).

Ajax memang bisa berbangga hari sebagai kesebelasan Belanda dengan trofi Piala Champions Eropa terbanyak. Tapi Feyenoord bisa berbangga karena mereka adalah kesebelasan Belanda pertama yang berjaya di Eropa. Feyenoord lebih dulu mengangkangi Eropa pada musim 1978/1979.

Baca juga: De Klassieker (1): Perang Kultural antara Amsterdam dan Rotterdam

Feyenoord membuka keran prestasi klub-klub Belanda di Piala Eropa pada 1969/1970. Tapi Ajax merajai Eropa berturut-turut yang mengekori sebagai juara tiga kali buruntun sejak 1970/1971 sampai 1972/1973. Pencapaian Ajax tersebut kemudian dijawab sekali lagi oleh Feyenoord setelah mereka keluar sebagai juara Piala UEFA pada 1973/1974.

Di era yang sama, para penggawa dari masing-masing tim juga menjadi tulang punggung lahirnya total football legendaris dan memikat atensi khalayak pada penyelanggeraan Piala Dunia 1974. Meski gagal juara, tim nasional Belanda besutan Rinus Michels itu akan selalu dikenang sebagai salah satu kesebelasan dengan performa terbaik sepanjang sejarah dan menjai cikal bakal permainan modern di dunia sepakbola.

Baca juga: Sudah Saatnya Kembali Melirik Timnas Belanda

Sosok Michels juga boleh membuat Ajax berbangga hati karena diidentikan sistem total football yang termasyur itu. Tapi bagi pendukung Feyenoord, sistem itu sudah dipraktikan oleh mereka lebih dahulu melalui sosok Ernst Happel. Menariknya lagi, Ajax juga boleh berbangga hati karena kewibawaan Johan Cruyff yang mahsyur sebagai legendanya.

Dia yang membuat Ajax bisa merajai Eropa tiga musim berturut-turut. Tapi Feyenoord bisa balik mengejek Ajax karena legenda itu toh akhirnya bermain untuk Feyenoord dan memimpin merajai Belanda. Cerita legenda pesepakbola Belanda itu membuat friksi di antara kedua kubu semakin meninggi.

Itu terjadi pada 1983. Musim sebelumnya, Cruyff dianggap tak layak ditawari perpanjangan kontrak oleh Ajax karena semakin menua. Merasa geram, Cruyff bergabung dengan Feyenoord pada musim 1983/1984 untuk membalas perlakuan itu. Proses kepindahan ini sendiri menghadirkan gelombang protes dari suporter kedua tim.

Pendukung Ajax marah kepada manajemen karena Cruyff adalah pemain penting yang dianggap pantas memperoleh ekstensi kontrak. Tak peduli bahwa usianya itu mencapai 36 tahun pada waktu itu. Sedangkan pendukung Feyenoord naik pitam karena manajemen bersedia menampung sosok yang sepanjang karirnya justru identik dengan rival.

Sejumlah pendukung Feyenoord pun bahkan berjanji untuk tidak datang ke Stadion De Kuip selama Cruyff masih ada di sana. Tapi di bawah kepemimpinan Cruyff, juga diperkuat Ruud Gullit yang masih muda saat itu di lapangan, Feyenoord meraih gelar ganda, yaitu Eredivisie dan Piala KNVB pada penghujum musim.

Ajaibnya, pikiran dan hati Cruyff hanya dipenuhi motivasi balas dendam pada saat itu. Sebelum akhirnya pensiun dan mengejar karir di dunia kepelatihan. Pertandingan De Klassieker pada Februari 2016 di Stadion Johan Cruyff Arena, kandang Ajax, juga berjalan panas karena berbau pengkhianatan.

Beberapa pihak geram karena pendukung Ajax menggantung boneka berseragam Kenneth Vermeer yang menjaga gawang Feyenoord pada waktu tersebut. Vermeer yang merupakan mantan kiper Ajax dianggap telah berkhianat setelah bergabung dengan Feyenoord pada musim panas 2014.

Padahal Vermeer memutuskan pergi dari Ajax karena kalah bersaing dengan Jasper Cillessen untuk menjadi kiper utama pada masa itu. Kejadian ini menjadi bukti bahwa de klassieker bisa panas hanya karena pengkhianatan setitik.

Disamakan dengan El Clasico dan Superclasico

Rivalitas Ajax dengan Feyenoord memang sangat menggairahkan. Miguel Delauney, mengibaratkan rivalitas keduanya seperti Mohammad Ali dengan Joe Frazier di dunia tinju. Sebab rivalitas antara Ajax dengan Feyenoord ini tak bisa dipisahkan dari persaingan kota terbesar di Belanda dan satu sama lain saling bersaing sedemikian rupa.

“Ini pola yang juga terjadi di banyak negara. (persaingan) antara kota nomor satu dan nomor dua. Seperti Barcelona dan Madrid di Spanyol,” kata Mike Verweij, Wartawan De Telegraaf.

Selain el clasico di Spanyol, de klassieker di Belanda merupakan rivalitas sengit dalam wujud superclasico di Argentina. De klassieker adalah laga prestisius yang selalu ditungu-tunggu khalayak yang menggemari sepakbola. Atmosfer panas, gengsi dan harga diri yang selalu meliputi pertemuan kedua klub merupakan substansi yang tak lekang oleh waktu meski gengsi Eredivisie justru semakin menukik.

Sampai kapapun, De Klassieker bakal selalu jadi pemanis dari eksistensi Eredivisie di jagad sepakbola dunia. Beberapa hari terakhir, media-media di Belanda dipenuhi artikel tentang pertnadingan sepakbola paling panas di negara tersebut.

Seperti pada laga 18 Agustus 2013 di Johan Cruyff Arena. Graziano Pelle, penyerang Feyenoord Rotterdam waktu itu, sempat membuat publik tuan rumah Ajax Amsterdam terbisu pada awal laga. Hal itu terjadi sebelum Kolbeinn Sigthorsson muncul sebagai pahlawan Ajax lewat ukiran dua gol dalam selang enam menit.

Ajax berhasil bangkit dari ketertinggalan untuk mengunci kemenangan 2-1 atas Feyenoord. Laga waktu itu adalah salah satu yang paling seru pada rivalitas antara dua kesebelasan tersebut dalam lima tahun terakhir. Juga laga terakhir de kalssieker pada 28 Oktober lalu.

Pertandingan tersebut berhasil dimenangkan Ajax dengan skor 3-0 di Johan Cruyff Arena. Laga klasik itu diwarnai satu kartu merah untuk Jeremiah St Juste, bek Feyenoord. Dengan kemenangan tersebut, Ajax kini mencatatkan total 85 kali menang dalam 190 kali laga de klassieker dan hanya mengalami 58, sisanya imbang.

Kabar tentang hasil dan kontroversi kartu merah laga pertandingan itu terus menghiasi media-media di Belanda. Tidak bisa dipungkiri memang de klassieker menjadi salah satu yang selalu berjalan sengit, ketat dan panas di atas rumput hijau di Eropa.