Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron, Gianluigi Buffon hingga Lilian Thuram, adalah nama-nama besar sepakbola Italia pada era 1990-an. Nama-nama besar di atas pada era itu memperkuat satu klub legendaris: AC Parma.
Pada eranya, klub yang bermarkas di Ennio Tardini ini, bersama dengan Milan, Inter, Juventus, Lazio, Fiorentina dan AS Roma, memiliki julukan Sette Sorelle atau Seven Sisters. Hal ini diberikan karena ketujuh klub inilah penguasa Serie A kala itu. Namun AC Parma seolah tenggelam dari peta sepakbola Italia. Ini terjadi setelah runtuhnya dinasti Tanzi yang selama ini menanggung finansial mereka.
Bangkrutnya Parmalat awal kejatuhan Parma
Parma sebelum era 1990-an, bukanlah klub yang konsisten di papan atas. Mereka lebih sering berkutat di Divisi 2 hingga Divisi 4 Liga Italia. Hingga akhrinya, Parmalat di bawah Calisto Tanzi membangun bisnis retail olahan susu dan makanan. Parmalat adalah usaha keluarga yang menjadi besar dan berskala nasional ketika dipimpin Calisto Tanzi. Parmalat kemudian menjadi perusahaan Multinasional dengan total 36.000 karyawan, bersama Barilla (perusahaan pembuatan Pasta), Parmalat menjadi penguasa Kota Parma.
Musim 1990/1991, Parma mendapatkan tiket promosi ke Serie A. Ini adalah momentum yang tepat bagi Parmalat untuk mengakuisisi AC Parma. Di Italia kala itu, sebuah perusahaan baru dianggap besar ketika memiliki sebuah kesebelasan.
Parmalat memutuskan mengakuisisi 98 persen saham Parma. Baru satu musim promosi, Parma langsung menggebrak dengan menjadi juara Coppa Italia. Bahkan pada musim 1994/1995, Parma meraih gelar Piala UEFA. Dengan dihuni pemain seperti Zola, Dinno Baggio, dan Faustino Asprilla, Parma menjadi kekuatan sepakbola Italia bahkan Eropa.
Romantisme antara Parma dan Parmalat berlangsung hingga awal milenium. Parma masih digdaya di Serie-A. Namun di saat yang sama, Tanzi ternyata mengeluarkan uang lebih banyak dari pendapatan mereka.
Ketakutan bagi Parma dimulai ketika adanya berita Leeds United memiliki uutang dan terancam bangkrut. Kala itu memang banyak kemiripan antara Leeds United di Premier League dengan Parma di Serie . Keduanya punya kesamaan dari segi sumber kekuatan finansial dan rekam jejak mereka di kancah domestik maupun Eropa.
Ketakutan para fans Parma terbukti ketika melaporkan adanya defisit sebesar 77 Juta Euro. Parmalat pun juga sedang mengalami keterpurukan bisnisnya. Barilla sebagai bisnis lain di Kota Parma, tidak berminat turut campur untuk menyelamatkan Parma.
Puncaknya ketika 2003 lalu, Parmalat diberitakan mengalami kesulitan dana sebesar 150 Juta Euro. Hal yang langsung dibantah oleh Parmalat di mana mereka menyatakan memiliki simpanan sebesar 3,9 Milliar Euro di Bank of America. Ironisnya, pernyataan Parmalat langsung dibantah oleh Bank of America.
Bank of America kemudian melakukan investigasi dan menemukan bahwa Parmalat melakukan banyak kecurangan dagang. Mereka melakukan pemalsuan dokumen saham, penggelapan dana, dan penipuan dalam pasar saham. Setelahnya, Calisto Tanzi dan beberapa rekannya ditangkap.
Penangkapan Calisto Tanzi tidak menghentikan investigasi. Hasilnya Parmalat memiliki deifisit keuangan sebesar 14,3 milliar Euro. Defisit tersebut dihitung dari kerugian akibat penipuan, dokumen palsu, dan obligasi saham palsu, yang diterbitikan Parmalat.
Pengaruhnya pada Parma di Serie A
Jatuhnya Parmalat memeengaruhi kekuatan Parma di Serie A. Namun manajemen klub yang baik dan penjualan besar-besaran membuat Parma masih bisa berkompetisi di Serie A.
Strategi penjualan pemain bintang mereka memiliki dampak buruk. Mereka menjadi kesebelasan yang medioker. Ini ironis karena Parma yang biasa berkutat di lima besar liga, saat itu malah berjuang menghindari degradasi.
Di saat kejatuhan Parma, Tanzi dihukum 10 tahun penjara. Ini membuat Parma kehilangan presiden klub sekaligus penyokong finansial mereka. Pergantian presiden klub silih berganti. Namun, tidak ada satupun yang mampu mengembalikan kejayaan Parma. Titik terendah Parma terjadi pada musim 2014/2015. Parma yang kala itu dilatih Donadoni, dinyatakan bangkrut dengan utang sebesar 218 Milliar Euro.
Kebangkitan Parma
Barilla dan Giampaolo Dallara menghidupkan lagi AC Parma saat mereka berkompetisi di Serie D. Pengusaha lokal tersebut pun mengganti nama klub menjadi S.S.D. Parma Calcio 1913.
“Apa yang terjadi dengan Parma di masa lalu adalah sebuah ironi. Kami butuh sesuatu yang baru, identitas baru dengan sosok kompeten dan serius. Kami semua pebisnis dan profesional. Kami akan memulai sesuatu yang baru, dengan keuangan yang sehat,” kata Barilla di Gazzetta di Parma, 2015 lalu.
Hasilnya sudah tampak jelas. Dengan komitmen tinggi, Parma langsung melesat dengan tiga kali promosi dalam tiga musim terakhir. Parma 1913 pun menjalankan program mereka dengan keuangan yang sehat. Mereka kini berkutat di Serie B musim ini dan tengah mengincar promosi ke Serie A.
Kini Parma Calcio 1913 memiliki komposisi tim yang baik. Di bawah asuhan Roberto D’Aversa, Parma Calcio 1913 membuka lembaran baru. Dengan kemampuan finansial yang lebih stabil mereka juga mendapatkan dukungan supporter yang luar biasa. Stadion Ennio Tardini, tidak pernah sepi sejak mereka berkompetisi di Serie D. Rata-rata 17.000 supporter selalu memenuhi Ennio Tardini. Dengan banyaknya dukungan, Parma Calcio 1913 kini optimis mampu menembus Serie A musim depan.
“Saya ingin berterima kasih kepada pemilik karena memberi saya kesempatan untuk mengejar mimpi ini. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para penggemar yang luar biasa, yang selalu memberi kami bantuan,” ungkap Roberto D’Aversa.
Hingga peringkat ke-35, Parma kini menempati peringkat keempat Serie B. Kalau hasil ini bertahan hingga akhir musim, Parma harus menjalani babak play off untuk menentukan promosi atau tidaknya mereka. Tentu amat menarik menantikan bagaimana kelanjutan nasib Parma selanjutnya. Mungkinkah mereka akan kembali ke Eropa dan memproduksi banyak pemain hebat seperti sebelumnya?