Francois Hollande ada di box VIP saat sebuah bom meledak di pintu masuk Stade de France. Suara ledakan bom terdengar menggelegar pun ke telinga para penonton televisi. Namun, para suporter dan para pemain tak menghiraukannya.
Tak berselang lama, ada pergerakan di tribun VIP. Presiden Hollande dipindahkan ke box kaca bersama sejumlah pejabat penting. Di antaranya Presiden Federasi Sepakbola Prancis (FFP), Noel Le Graet, dan Menteri Dalam Negeri Prancis, Bernard Cazeneuve. Saat pertandingan terus berlangsung, ia membuat keputusan penting.
Berawal dari Charlie Hebdo
Pada 7 Januari 2015, pukul 11:30 waktu Prancis, sebuah mobil Citroen C3 hitam terparkir di sekitar jalan Rue Nicolas-Appert. Dua orang bertopeng keluar mobil sembari menenteng Kalashnikov yang siap untuk ditembakkan. Baru beberapa saat masuk ke kantor nomor 6, mereka bergegas keluar, karena ternyata salah alamat. Kantor Charlie Hebdo, tujuan mereka yang sebenarnya, terletak di lantai dua kantor nomor 10.
Di dalam kantor nomor 10, mereka dengan membabi buta menembak mati pekerja teknisi gedung, Frederic Boisseau, yang kebetulan tengah berada di area resepsionis. Para teroris yang diidentifikasi bernama Cherif Kouachi dan Said Kouachi ini kemudian bertemu salah satu kartunis Charlie Hebdo, Corinne Rey. Mereka memaksa Rey untuk memasukkan kode di pintu masuk lantai dua.
Sesaat setelah pintu terbuka, Kouachi bersaudara langsung membuka tembakan yang menewaskan anggota polisi yang bertugas, Franck Brinsolaro. Mereka kemudian menembak lima kartunis, tiga staf editorial, dan seorang tamu yang tengah menghadari rapat di kantor tersebut.
Faktanya, Tragedi Charlie Hebdo bukanlah yang terakhir. Para teroris ini sempat-sempatnya menembak petugas kepolisian, Ahmed Merabet, yang tengah berjalan di trotoar. Pemerintah Prancis kemudian menetapkan Paris dalam status siaga penuh. Operasi keamanan pun diluncurkan dengan 500 petugas kepolisian disiagakan di jalan-jalan.
Keesokan harinya, seorang polisi ditembak mati dan dua warga lainnya cedera. Pihak berwajib menyatakan kalau ada keterlibatan antara aksi di Charlie Hebdo dengan penembak yang bersenjatakan pistol dan senjata mesin ini.
Siang harinya, sebuah SPBU dirampok oleh teroris ini. Mereka menembakkan Kalashnikov sembari menjinjing senjata peluncur roket (RPG). Jumat, 9 Januari, atau dua hari setelah penembakkan Charlie Hebdo, aksi teror juga terjadi di sebuah supermarket. Mereka menawan sejumlah pengunjung dan meminta untuk menukarnya dengan keselamatan Kouachi bersaudara.
Pada akhirnya, pasukan khusus berhasil menembak mati penyandera. Pun dengan Kouachi bersaudara yang ditembak mati pasukan khusus di tempat berbeda. Namun, nyatanya teror tak berhenti sampai di sini. Para teroris seperti merencanakan serangan yang lebih besar, dahsyat, dan masif.
Meneror Timnas Jerman
Jerman tak muluk-muluk saat terbang ke Paris. Meskipun memiliki nilai prestise, tapi pertandingan melawan kesebelasan negara Prancis hanyalah berstatus uji tanding. Pagi hari jelang pertandingan, seluruh skuat Jerman dievakuasi. Alasannya karena hotel tempat mereka menginap mendapatkan ancaman bom. Alih-alih pulang dan membatalkan pertandingan, skuat Jerman beramai-ramai menonton tenis di Roland Garros karena berbarengan dengan jadwal pertandingan French Open.
Setelah hotel dipastikan aman, skuat Jerman pun kembali. Manajer Jerman, Olivier Beirhoff, menyatakan kalau timnya tetap tenang dan percaya pada petugas keamanan di Prancis. “Hal seperti ini bisa terjadi di negara manapun. Semua pemain merasa lega,” tutur Beirhoff kala itu.
Saat tiba di Stade de France, semuanya berlangsung normal. Keanehan terjadi pada menit ke-20 ketika suara ledakan terdengar. Selang 10 menit, ledakan kedua terdengar. Suaranya cukup keras sehingga terdengar jelas dan terekam dalam siaran televisi. Belum ada kepanikan yang nyata. Pertandingan masih terus dilanjutkan hingga waktu normal berakhir. Setelah wasit meniup peluit panjang, seluruh skuat Jerman diminta bergegas menuju ruang ganti.
“Kami semua terguncang,” kata Pelatih Jerman, Joachim Loew. “Kami diberi tahu di ruang ganti apa yang terjadi. Kami semua ketakutan karena sebelumnya ancaman bom membuat kami tertahan tiga jam di luar hotel.”
Baca juga: Piala Dunia, Inggris, Rusia, dan Marmut
Bisa Menelan Lebih Banyak Korban
Tak lama setelah bom meledak di luar Stade de France, Presiden Hollande sudah diberitahu kalau ada yang tak beres. Apalagi ia juga mendapatkan kabar terjadinya rentetan penembakan di sejumlah tempat di Paris. Ledakan di luar Stade de France bukanlah yang terakhir di malam itu.
Tepat lima menit setelah ledakan, berondongan peluru dimuntahkan di Carillon dan Le Petit Cambodge. Sebanyak 15 warga yang umumnya tengah menikmati makan malam di sekitar tempat tersebut menjadi korban jiwa.
Di Stade de France, Francois punya dua pilihan: (1) Menghentikan pertandingan dan membubarkan massa atau (2) membiarkan pertandingan terus berjalan hingga situasi kondusif.
Francois menunda memberikan keputusan. Hingga 10 menit setelah ledakan pertama, terdengar ledakan kedua yang lebih keras. Di saat tersebut, Francois tahu kalau menghentikan pertandingan hanya akan menambah potensi jumlah korban jiwa. Pertandingan pun terus dilanjutkan. Sebelum wasit meniup peluit tanda pertandingan babak pertama berakhir, Francois dan sejumlah pejabat lainnya dievakuasi meninggalkan stadion.
Kebingungan saat itu melanda Joachim Loew dan Didier Deschamps. Pasalnya, cuma keduanya yang diberitahu secara langsung soal kejadian yang sebenarnya terjadi. Baik Loew maupun Deschamps belum menentukan apakah kabar buruk ini akan mereka sebar ke pemain di ruang ganti, atau nanti setelah pertandingan usai.
Loew dan Deschamps memutuskan untuk menyimpan informasi tersebut. Pertandingan berjalan normal. Para penonton tetap bersemangat dan memberikan yel-yel untuk timnas Prancis. Mereka tampaknya belum mengetahui apapun soal kabar buruk di luar stadion.
Baru setelah pertandingan menjelang akhir, kebingungan kian jelas. Para penonton di tribun timur tidak diperkenankan pulang. Pintu keluar ditutup. Namun, karena mereka umumnya tak tahu di mana itu pintu barat, utara, dan selatan, penonton di tribun timur tetap bergerak pulang.
Mereka langsung balik badan setelah pintu stadion bagian timur ditutup. Kepanikan pun kian terasa. Mereka yang belum bisa keluar ditampung di area rumput lapangan. Sekitar 45 menit dan situasi sudah dinilai kondusif, para penonton dipersilakan meninggalkan stadion.
Namun, hal ini tidak berlaku buat timnas Prancis dan Jerman. Timnas Prancis, baru keluar stadion pukul tiga pagi. Sementara itu, timnas Jerman lebih memilih menginap di stadion untuk kemudian berangkat langsung menuju bandara keesokan paginya.
Baca juga: Tidak Ada Pribumi di Sepakbola Prancis
Andai Pertandingan Dihentikan
Saat teror terjadi, panik merupakan perasaan yang wajar. Hal yang sama juga tentu dirasakan petugas keamanan stadion. Apalagi, orang nomor satu di Prancis ada di stadion tersebut yang membuat Stade de France menjadi tempat paling rawan untuk diserang.
Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan pertandingan menjadi amat penting. Untungnya, Hollande memutuskan agar pertandingan berlanjut. Pasalnya, kerumunan yang ketakutan akan menjadi sasaran empuk si teroris dan bahkan memang sudah mereka rencanakan.
Bom pertama diledakkan oleh Bilal Hadfi lewat rompi yang dipasangi bom. Harapan mereka, bom tersebut akan menyedot perhatian massa untuk berhamburan keluar. Saat massa berkerumun di luar stadion, bom kedua kembali diledakkan. Namun, setelah hampir 10 menit, tak ada tanda-tanda kalau pertandingan akan dihentikan. Ini yang membuat pengebom kedua nekat masuk ke stadion. Ia bahkan sudah punya tiket masuk. Beruntung penjaga pintu melarangnya masuk sehingga ia meledakkan diri di luar stadion.
Hollande menyatakan bahwa prioritasnya malam itu adalah untuk meyakinkan semua orang di stadion tetap tenang. “Kami ingin mencegak kepanikan dari para penonton. Keputusan untuk tidak menghentikan pertandingan barangkali menyelamatkan banyak nyawa,” kata Hollande dilansir Express.
Apabila skenario para peneror tersebut terlaksana, tentu akan banyak korban yang berjatuhan. Bahkan bisa saja merusak struktur stadion secara masif. Barangkali, Tuhan memang sudah punya skenario lain. Tuhan mereka pun tak menghendaki rencana gila itu semua itu terjadi.