Indonesia akhirnya gugur dari perebutan medali di cabang sepakbola pria Asian Games 2018. Meski berhasil mendominasi pertandingan, anak-anak asuh Luis Milla gagal untuk mengalahkan Uni Emirat Arab di babak adu penalti. Tersingkir di 16 besar, Tim Garuda gagal untuk mencapai target mereka, masuk ke empat besar.
Meski gagal, Hansamu Yama dan kawan-kawan tampil menjanjikan. Berhasil mencetak 13 gol dari lima pertandingan. Sebuah peningkatan jika mengingat raihan gol Indonesia di SEA Games 2017 kurang dari jumlah tersebut. Tahun lalu, Indonesia hanya mencetak 10 gol dari tujuh pertandingan.
13 gol tersebut terpecah ke dalam enam pemain. Ricky Fajrin, Muhammad Hargianto, dan Hanif Sjahbandi masing-masing mencetak satu gol. Irfan Jaya mencetak dua gol. Sementara duet pemain naturalisasi, Beto Goncalves serta Stefano Lilipaly sumbang empat gol per individu.
Memang lebih sedikit dibanding saat SEA Games (8), tapi itu juga mengartikan bahwa serangan Indonesia di Asian Games lebih terpusat dibandingkan sebelumnya. Pusat tersebut adalah Fano.
Fano yang absen ketika SEA Games karena batasan umur yang diterapkan dalam turnamen menjadi pemberi pengaruh positif kepada tim Milla. Dirinya diplot menjadi pemain nomor 10 selama Asian Games. Bukan hanya memiliki nomor punggung 10, tapi peranannya juga sama.
Sebelum nomor punggung menjadi sebuah nilai jual tersendiri di sepak bola. Angka yang terpasang di seragam pemain merupakan gambaran dari tugas mereka selama merumput. Terkadang, juga hanya diurutkan sesuai posisinya, tapi tidak jauh dari tugas utama mereka. Nomor punggung 10 biasanya digunakan oleh seorang kreator serangan atau pusat kreativitas tim.
Ini mengapa pemain seperti Diego Maradona, Zico, hingga Ozora Tsubasa mengenakan nomor punggung 10. Dalam formasi awal sepak bola, nomor punggung 10 biasanya jadi milik seorang penyerang. Namun, hal ini dikarenakan formasi 2-3-5 sedang populer di dunia sepak bola. Saat tren tersebut bergeser jadi 3-4-1-2, nomor punggung 10 menjadi milik seorang gelandang serang. Dia yang berada di belakang duet penyerang.
Baca juga: Kostum Liga 1 Musim 2018: Indonesia Timur Memang Seharusnya Memesona
Lubang Pada Tembok
Para gelandang serang yang berdiri di belakang penyerang inilah yang membuat nomor punggung 10 semakin populer. Peran mereka di atas lapangan tetap sama seperti para pendahulunya di era 2-3-5. Menjadi motor serangan dan otak kreativitas. Namun, posisi yang berbeda membuat pengaruh mereka semakin ketara.
Berada di belakang penyerang dan satu langkah lebih jauh dari baris pertahanan lawan membuat mereka semakin leluasa memainkan bola. Dari posisi inilah dunia sepak bola dipernalkan kepada Juan Roman Riquelme, Pablo Aimar, dan lain-lain.
Selain jadi distributor utama aliran bola, mereka juga siap menyambut peluang dari lini kedua. Membuat lubang pada tembok pertahanan dan siap memaksimalkannya. Itu jadi tugas utama seorang nomor 10 di dunia sepak bola.
Meski para pemain kini sudah bisa memilih nomor punggung mereka, angka 10 tetap keramat di dunia sepak bola. Peran mereka juga sama seperti dulu. Sekalipun seorang Lionel Messi yang merupakan seorang penyerang. Begitu juga Fano yang tidak berdiri di antara lubang.
Baca juga: Tentang Eksposur Besar untuk Timnas Usia Muda Indonesia
Jalan dari Kebutuan Indonesia
Pada SEA Games 2017, delapan pemain Indonesia tercatat sebagai pencetak 10 gol Tim Garuda. Tiga dari Septian David Maulana, sementara tujuh lainnya dicetak oleh pemain yang berbeda-beda. Saddil Ramdani, Ezra Walian, Rezaldi Hehanusa, Febri Haryadi, Muhammad Hargianto, Evan Dimas, dan Marinus Wanewar, masing-masing sumbang satu gol.
Saat itu, Luis Milla tidak memiliki pemain yang bisa diandalkan ketika situasi genting. Apabila Septian mengalami kebuntuan, Indonesia bingung harus mengandalkan siapa. Pada akhirnya mereka gagal mencetak gol pada dua pertandingan selama SEA Games. Imbang tanpa gol di fase grup melawan Vietnam dan kalah 0-1 dari Malaysia pada semi-final.
Sementara di Asian Games, Indonesia berhasil mencetak gol di setiap laga. Walaupun tak selalu menang. Berbeda dengan saat SEA Games, Luis Milla sudah mendapatkan sosok yang bisa ia andalkan untuk mencetak gol. Beto Goncalves dan Fano.
“Saya rasa kehadiran mereka membuat tim kami lebih solid. Beto dan Stefano Lilipaly terlihat penting di lapangan. Tapi untuk Beto, kita harus menjaga kondisinya karena ia sudah berusia 37 tahun,” kata Milla seperti dikutip Tabloid Bola Edisi Selasa, 21 Agustus 2018.
Saat Beto ditarik keluar, Milla meminta Fano untuk menjadi ujung tombak. Biasanya bersama Ilham Udin Armayn yang akabn bermain lebih melebar. Padahal pada skema utama Milla, Fano adalah seorang gelandang. Salah satu dari trio pemain tengah dalam sistem 4-3-3 ala FC Barcelona atau Manchester City.
Namun jika melihat perannya yang begitu krusial, dialah sosok yang dicari pemain lain ketika membutuhkan gol. Wajar jika akhirnya diposisikan sebagai ujung tombak.
Baca juga: Jadwal Timnas Indonesia di Asian Games 2018
Sumber Produktivitas
Dalam sistem 4-3-3 yang diterapkan oleh Luis Milla, Stefano Lilipaly memang tercatat sebagai gelandang. Namun perannya bukanlah sebagai penyeimbang, karena itu disamatkan kepada Evan Dimas. Bukan juga sebagai perusak yang merupakan tugas Zulfiandi. Ia juga bukan seorang penyerang seperti Ilham Udin ataupun Beto.
Jika melihat istilah peranan sepak bola yang ada, Fano adalah seorang enganche. Gelandang yang memiliki visi permainan, keterampilan serta kepercayaan diri tinggi. Enganche mirip seperti ‘trequartista’. Bedanya, pergerakan enganche lebih teratur. Tidak sebebas ‘trequartista’.
Enganche idetik dengan pemain nomor 10 dari sebuah tim, layaknya Fano. Pasalnya untuk menjalankan tugas ini, perlu kriteria-kriteria yang biasanya dimiliki pemain dengan nomor punggung 10. Walaupun tak semua enganche menggunakan nomor 10 pastinya.
Contoh enganche yang paling menyerupai Fano adalah Diego Armando Maradona dan David Silva. Sama seperti pemain naturalisasi Belanda tersebut, Maradona dan Silva beroperasi sebagai kreator utama serangan tim masing-masing. Menjadi distributor serta sesekali menyelesaikan peluang yang ada untuk dirinya sendiri.
Maradona mungkin lebih mirip dengan Stefano Lilipaly dibandingkan David Silva. Jarang turun membantu pertahanan, selalu bermain di tengah dan berusaha membuka ruang untuk rekan-rekannya dengan menahan bola dengan teknik tinggi yang ia miliki.
Sementara Silva mirip dengan Fano lebih karena dirinya berperan sebagai enganche saat diposisikan Pep Guardiola di tempat yang sama seperti pemain Bali United itu di tim Luis Milla.
Ketika diplot sebagai enganche, mereka jarang menyusur ke sayap. Begitu juga dengan Fano. Menurut data Labbola, hanya 30.4% pergerakan Fano ada di sayap. Sementara di area tengah, ia menghabiskan 57.6%.
Enganche adalah seorang gelandang yang fokus untuk menyerang. Dia adalah kait dalam sebuah tim. Pusat dari penyerangan, terutama di area 3/4 lapangan. Wajar jika akhirnya data Labbola mencatat hanya 11.1% waktunya selama di lapangan dihabiskan Fano di daerah pertahanan sendiri. Inilah yang membuat Fano begitu produktif.
Baca juga: Mitra Kukar, Gudang Penyerang Subur Liga Indonesia
Fantasista Indonesia
Peran Stefano Lilipaly mungkin bukan seorang ‘trequartista’. Peran itu bisa jadi milik Ilham Udin ketika diturunkan oleh Milla. Pasalnya, ‘trequartista’ bisa bergerak bebas sesuai dengan kondisi permainan dan aliran bola saat itu. Francesco Totti, Roberto Baggio, contoh dari seorang ‘trequartista’. Lionel Messi bahkan dapat disebut ‘trequartista’ karena ‘false 9’, peran identik La Pulga adalah evolusi dari peranan tersebut.
Tapi sama seperti Diego Maradona, Stefano Lilipaly layak disebut Fantasista. Pemain langka yang bisa menciptakan peluang ataupun gol dengan teknik individu berkelas. Fantasista biasa disamatkan kepada pemain yang berperan sebagai ‘trequartista’. Namun, fantasista tak selalu ‘trequartista’. Tidak semua ‘trequartista’ juga bisa disebut fantasista.
Ada kesamaan antara Maradona, Baggio, dan Totti yang sudah identik dengan istilah fantasista. Mereka sama-sama cerdas di atas lapangan, memiliki kreativitas, dan teknik individu yang tinggi. Hal itu juga dimiliki oleh Stefano Lilipaly, fantasista Indonesia!