Piala Dunia 1962: Pertempuran Santiago, Kemunculan Garrincha, Takhayul Cile

“Kami tidak punya apa-apa lagi kecuali satu Piala Dunia,” kata Carlos Dittborn selaku Presiden Asosiasi Sepakbola Cile saat itu. Ia memohon kepada FIFA untuk penyelenggaraan Piala Dunia 1962 diselenggarakan di negaranya. Ketika itu, FIFA menginginkan tuan rumah harus berasal dari negara Amerika latin mengingat dua ajang sebelumnya selalu digelar di Eropa.

Hanya saja, Cile saat itu sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka baru saja terkena gempa bumi pada Mei 1960 yang menjadi salah satu gempa terdahsyat yang pernah terjadi di dunia. Kekuatan gempa yang mencapai 9,6 skala ritcher menewaskan sekitar 6000 warga saat itu.

Usaha Dittborn pun berhasil. FIFA akhirnya mengizinkan Cile menjadi tuan rumah Piala Dunia edisi ketujuh. Sayangnya sebulan sebelum upacara pembukaan, Dittborn meninggal dunia tanpa bisa merasakan ajang empat tahunan tersebut. Jadilah Piala Dunia 1962 saat itu sebagai dedikasi atas usaha Dittborn.

Penuh dengan Kekerasan

Sayangnya, Piala Dunia 1962 lebih dikenal sebagai Piala Dunia paling kotor sepanjang sejarah. Permainan keras menjurus kasar seringkali terulang di setiap pertandingannya. Dari delapan pertandingan awal saja sudah hadir empat kartu merah, tiga insiden patah kaki, pergelangan kaki yang retak, serta tulang rusuk yang patah.

Wasit Juan Gardeazabal yang memimpin laga Argentina melawan Bulgaria memberikan 69 tendangan bebas dengan rata-rata satu per 78 detik. Kaki pemain Rusia, Eduard Dubinski, patah ketika berbenturan dengan Muhamed Mujic. Hal ini bahkan membuat komisi disiplin langsung mengadakan rapat darurat hanya dalam dua hari setelah ajang resmi dibuka.

“Hanya dalam waktu dua hari mulai terlihat beberapa tim tidak ingin pulang terlalu cepat. Akan tetapi, mereka melupakan kalau sepakbola adalah sebuah permainan dan Piala Dunia adalah jendela terbesarnya,” ujar Donald Saunders kolumnis surat kabar Telegraph saat itu.

Battle of Santiago

Puncak dari segala pertunjukan kekerasan di Piala Dunia 1962 hadir pada 2 Juni saat tuan rumah Cile melawan Italia. Estadio Nacional di Santiago yang seharusnya menjadi pertunjukkan dua negara terbaik beda benua ini justru tampil layaknya gladiator yang harus menghabisi lawan-lawannya. Dikutip dari Guardian, reporter BBC, David Coleman pun geram ketika menyaksikan laga ini.

“Selamat malam. Permainan yang akan Anda lihat adalah pertandingan sepakbola paling bodoh, mengerikan, menjijikan, dan memalukan. Kami berharap ini adalah yang terakhir. Saat ini, Cile tidak siap untuk bertarung dengan cara yang masuk akal, orang Italia bertanding dengan kekuatan. Keduanya pun menjadi bencana di Piala Dunia 1962. Anda yang menyaksikan laga ini di rumah mungkin berpikir kalau kedua negara ini harus segera diusir dari kompetisi.”

Menit ke-12, wasit Ken Aston langsung mengusir gelandang Italia, Giorgio Ferrini, setelah menendang Honorino Landa. Ferrini yang menolak untuk keluar bahkan harus diseret oleh petugas keamanan untuk keluar.

Setengah jam berselang, Mario David melepaskan tendangan kungfunya ke kepala Leonel Sanchez. Aston pun kembali mengusir pemain bernomor punggung 18 tersebut sehingga Italia harus bermain dengan sembilan pemain. Dengan minus dua pemain, skuat asuhan Paolo Mazza tidak sanggup mengatasi tuan rumah yang akhirnya menang 2-0.

Akan tetapi, pihak Italia merasa laga tersebut tidak berjalan adil bagi mereka. Beberapa pemain menjadikan Aston sebagai kambing hitam karena hanya menganggap Italia saja yang bermain kasar. Cile yang sejak peluit dibunyikan sering meludahi para pemain Italia justru lolos dari hukuman sementara ketika pihak Italia membalas, maka mereka langsung mendapat hukuman pengusiran.

Sebuah kemelut di dekat bendera sepak pojok memaksa Humberto Maschio merebut bola dari kaki Leonel Sanchez. Tidak terima dengan cara mengambil bola yang dilakukan Maschio, Sanchez kemudian mengarahkan tinjunya tepat ke rahang Maschio hingga si pemain tersungkur tidak sadarkan diri. Hal inilah yang kemudian mendorong David melepaskan tendangan ke kepala Sanchez yang membuahkan kartu merah untuknya.

“Kami adalah korban. Sanchez mematahkan hidung Maschio dan wasit justru mengusir Ferrini. Dia juga memukul saya tapi wasit berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Lalu saya berinisiatif untuk menendangnyaa karena untuk menendang bola maka saya harus menendang dia (Sanchez) juga,” ujar David beberapa tahun berselang.

Sementara itu, wasit Aston justru melemparkan kesalahan kepada asistennya yang dia anggap tidak cakap memberitahu kejadian yang melibatkan Sanchez dan Maschio. Aston bahkan menyindir koleganya tersebut yang ia anggap beruntung bisa memimpin ajang sekelas Piala Dunia.

“Pria yang melihat kejadian itu adalah Leo Goldstein yang sayangnya tidak memberitahu saya kejadian apa yang terjadi. Ia beruntung bisa jadi asisten wasit di Piala Dunia karena dia hampir menjadi korban tragedi holocaust. Saya terjebak dengan keberadaan dia saat itu,” ujarnya.

Kopi Tidak Mempan untuk Cile

Brasil di Piala Dunia 1962

Terlepas dari kejadian di Santiago, Cile memang tampil apik sepanjang turnamen. Finis di posisi kedua grup B, mereka berhasil menyingkirkan Uni Soviet di perempat final. Kebijakan pelatih Fernando Riera saat itu yang mengharuskan para pemainnya menyantap makanan yang berasal dari negara lawannya menjadi salah satu alasa kesuksesan La Roja.

Sebelum melawan Italia, Cile diharuskan mengonsumsi spaghetti. Ketika mengalahkan Swiss, mereka juga diharuskan mengonsumsi keju. Ketika mengalahkan Uni Soviet, Riera bahka meminta anak didiknya untuk meminum vodka. Akan tetapi, takhayul tersebut terhenti di semifinal. Cile disingkirkan Brasil meski sehari sebelum pertandingan, mereka mengonsumsi kopi yang menjadi komoditas utama negeri Samba.

Tanpa Pele ada Garrincha

Brasil Memenangi Piala Dunia 1962

Brasil datang ke Cile dengan tekad untuk mempertahankan gelar yang diraih empat tahun sebelumnya. Meski tampuk kepelatihan pelatih berganti dari Vicente Feola ke Aymore Moreira namun mereka tidak mengubah isi skuadnya. Mereka masih diisi nama-nama macam Gilmar, Nilton Santos, Mario Zagallo, Didi, Vava, hingga si ajaib Pele.

Sayangnya Pele tidak bisa tampil penuh selama turnamen. Ia mengalami cedera ketika Brasil bertanding melawan Ceko di penyisihan. Kehilangan Pele saat itu membuat peluang mereka mempertahankan gelar menipis sebelum akhirnya ada sosok Garrincha yang menjadi pahlawan.

Garrincha adalah pemain yang unik. Panjang kaki kiri dengan kaki kanannya berbeda enam senti. Akan tetapi, hal itu menjadi kelebihannya yang beberapa kali menjadi bintang di setiap pertandingan selecao.

Sejak perempat final Piala Dunia 1962, Garrincha menjadi bintang berkat aksi olah bola yang tidak jauh berbeda dibanding Pele. Ia membantu Brasil mengalahkan Inggris di perempat final dengan dua golnya. Ia pun kembali mencetak dua gol ketika melawan Cile. Meski tidak mencetak gol di laga final, namun Garrincha tetap menjadi inspiratory kemenangan timnya yang sanggup mengalahkan Josef Masopust cs., 3-1 sekaligus mempertahankan Piala Jules Rimet yang diraih Brasil empat tahun sebelumnya.

Seri dan Sejarah Piala Dunia:

(1) Piala Dunia 1930: Rumit, Perjalanan Jauh, Serta Final Dua Bola
(2) Piala Dunia 1934: Mussolini, Oriundi, Hingga Hukuman Mati
(3) Piala Dunia 1938: Diundi Cucu, Debut Indonesia, Dan Sensasi Leonidas
(4) Piala Dunia 1950: Aksi WO, Tumbangnya Raja Sepakbola, dan Kesombongan Brasil
(5) Piala Dunia 1954: Banyak Gol, Pertarungan Bern, dan Sepatu Adidas
(6) Piala Dunia 1958: Anti Israel, Berkah Sepatu Pinjaman, dan Sinar Pele