Masalah Inggris adalah Masalah di Semua Negara

Sebelumnya, Gareth Southgate mengaku khawatir dengan potensi kemajuan para pesepakbola muda Inggris. Soalnya, di tiga pekan pertama Premier League, jumlah pemain Inggris yang tampil cuma 30-an persen. Angka ini bahkan lebih rendah ketimbang musim sebelumnya.

“Salah satu perhatian terbesar saya adalah menit bermain untuk para pemain Inggris, yang ditunjukkan dari jumlah pemain yang kami bawa ke Rusia, tidak mendapatkan kesempatan,” tutur Southgate.

Debat soal ini di Inggris memang sudah terdengar sejak lama. Ketika Arsene Wenger membawa segerombolan pemain dari Prancis, publik mulai sadar kalau Premier League bukanlah sebenar-benarnya liga untuk pesepakbola Inggris. Dengan dalih sebagai industrialisasi sepakbola, operator Liga Inggris pun tak membuat upaya lebih agar para pemain asli Inggris bisa lebih terlibat. Sejauh ini, Premeir League menerapkan aturan delapan homegrown dari 25 pemain yang didaftarkan. Memang cukup banyak, tapi cukup banyak pula yang cuma jadi cadangan.

Para pemain Inggris hanya bermain 30,4% dari total 79.200 menit di Premier League sejauh ini. Di top six jumlah starter pemain Inggris bahkan menurun hingga 20%. Ini merupakan sinyalemen negatif buat Southgate. Soalnya, publik Inggris keburu merasa yakin kalau timnas mereka amatlah kuat, dengan bukti bisa tembus semifinal Piala Dunia 2018. Dengan minimnya pesepakbola Inggris yang bermain, kian sempit pula pilihan Southgate untuk membawa para pemain ke timnas.

Menurut The Guardian, Chelsea dan Arsenal ada di kesebelasan terbawah yang memainkan pemain Inggris. Chelsea mencatatkan 172 menit untuk Ruben Loftus-Cheek dan Ross Barkley, sementara Arsenal cuma 56 menit gabungan dari Danny Welbeck dan Ainsley Maitland-Niles. Kesebelasan yang memberikan menit bermain terbanyak untuk pemain Inggris sejauh ini adalah Burnley dan Bournemouth. Keduanya menjadi dua tim Inggris yang mencatatkan lebih dari 2.000 menit hingga pekan keempat Premier League.

Southgate merasa kalau penurunan ini tak lepas dari peran para manajer papan atas. Hal ini juga disetujui oleh manajer Inggris U-21, Aidy Boothroyd. Ia percaya kalau para manajer luar negeri cenderung memilih pemain dari luar negeri pula. Teori ini pun didukung oleh Sean Dyche dan Eddie Howe. Kehadiran manajer asing seolah membuat mereka tak memiliki urgensi untuk menurunkan talenta asli Inggris.

“Tidak pernah ada waktu yang lebih baik untuk menjadi seorang pesepakbola Inggris, di usia berapapun,” kata Boothroyd.

Kekhawatiran Boothroyd adalah tak peduli Inggris mau juara di kelompok umur, baik itu U-17 maupun U-20, semuanya tak berguna, kalau tak ada dari para pemainnya yang bermain di tim senior. Pengembangan pemain yang seperti ini yang akan membuat Inggris di level senior menjadi mentok. Cuma Lewis Cook dan Dominic Calvert-Lewin yang rutin bermain di klub masing-masing untuk Bournemouth dan Everton. Sementara skuat Inggris U-20 yang juara dunia, tak ada satupun yang menjadi starter di tim utama.

“Di masa lalu, Anda punya manajer Britania yang memberikan para pemain Britania banyak kesempatan untuk membuktikan kalau mereka bisa melakukannya. Kini, sepakbola adalah permainan global. Lihat di klub lama saya di Watford, mereka kini menjadi kesebelasan yang benar-benar berbeda,” tutur Boothroyd.

Menurutnya, pemilik dan manajer asing kemungkinan melihat talenta luar negeri terlebih dahulu ketimbang memainkan pemain Inggris yang ada di depan mata mereka. Namun, saat ditanya solusinya, Boothroyd pun tak punya jawabannya.

“Para pemain muda kini berpikir untuk bermain di luar negeri terlebih dahulu. Saya mengagumi keputusan itu untuk banyak hal. Saya pikir itu adalah hal bagus saat mereka belajar bahasa ang berbeda dan mengalami budaya yang berbeda, juga cara main yang berbeda. Namun, fakta kalau mereka harus pergi ke luar negeri untuk bermain bola adalah lampu merah buat pemangku kebijakan. Mereka akan berpikir: ‘Sebentar, mengapa ini terjadi?’ Sayangnya, saya tak yakin kalau saya juga punya jawabannya,” ungkap Boothroyd.

Kian Kompleks Karena Brexit

Permasalahannya kini menjadi kompleks setelah Brexit. Inggris yang keluar dari keanggotaan Uni Eropa akan menghadirkan masalah baru soal pemain asing. Buat para manajer maupun pemain Inggris, Brexit bisa menguntungkan karena para pemain Eropa mesti punya izin seperti pemain non-Eropa. Di sisi lain, Premier League meminta Pemerintah Inggris untuk memastikan apakah sepakbola akan dikecualikan dari perizinan pemain.

Baca juga: Apakah Jurgen Klopp Sukses Menangani Liverpool?

Hal berbeda justu diungkapkan Jurgen Klopp yang disebut sebagai penentang Brexit. Menurutnya, dengan sedikitnya pemain asing akan memengaruhi kualitas dan nilai kompetitif Premier League. Menurutnya, pelatih asing tak semerta-merta menurunkan semua pemain asing. Klopp membuktikannya di Liverpool dengan memainkan Trent Alexander-Arnold, Joe Gomez, and Jordan Henderson. Ini menunjukkan kesempatan untuk para pemain muda Inggris, hadir di Liverpool.

“Kalau pemain timnas Jerman pindah ke Premier League, dia juga mungkin tak akan bermain sebanyak sebelumnya. Ini terjadi di negara lain juga. Emre Can belum bermain sejauh ini di Juve. Apakah dia akan menjadi starter? Aku tak punya solusinya karena kupikir ini bukan cuma soal sepakbola Inggris, sejujurnya, tapi bagaimana aku melihat adalah sepakbola Inggris dengan pengembangan para pemain muda tengah beda di jalan yang bagus,” tutur Klopp.

Baca juga: Alasan Mengapa Klopp Tak Perlu Pengganti Oxlade-Chamberlain

“Dia [Southgate] benar, mereka harus mencari solusi untuk pemain muda macam Loftus-Cheek, sebagai contoh, untuk bermain reguler, tapi aku tak bisa memecahkan masalah itu.”

Menurut Klopp, ada pemain tertentu yang mengalami masalah ini. Menurutnya, dengan dia tidak bermain di klub, bukan berarti dia tak bisa bermain di klub lain. Masalahnya, menurut mantan pelatih Borussia Dortmund ini, Premeir League merupakan liga yang keras secara persaingan. Bukan cuma, pemain Inggris, tapi pemain dari negara lain pun harus ekstra keras untuk bersaing di Premier League.

Hal senada juga diungkapkan pelatih Chelsea, Maurizio Sarri. “Aku diberi pertanyaan yang sama di Italia: mengapa begitu sulit bagi warga Italia untuk bermain di kesebelasan besar di Italia? Aku pikir itu normal. Sulit untuk bermain di sini, sulit untuk bermain di Juventus, karena di klub ini ada 27 sampai 28 pemain hebat. Makanya sulit,” tutur mantan pelatih Napoli ini.

Baca juga: Maurizio Sarri, Romansa Chelsea dengan Manajer Italy

Soal pengembangan pemain muda ini sejatinya mungkin menjadi masalah di manapun, termasuk di Indonesia. Bahkan sempat terdengar wacana untuk melarang pemain asing untuk posisi penyerang. Ini tak lepas dari fenomena di mana Indonesia seperti kesulitan mencari penyerang tajam untuk timnas. Di sisi lain, kesebelasan menaruh kepercayaan dengan menempatkan pemain asing sebagai ujung tombak.

Lantas apa yang harus dibenahi? Satu hal yang pasti, sepakbola saat ini harus menjadi industri agar sehat secara finansial. Mengurangi pemain asing di pos striker, dianggap bisa menurunkan kualitas liga itu sendiri. Belum lagi “pengecohan” yang nantinya dilakukan klub dengan mendaftarkan si pemain sebagai gelandang atau bek, tapi ditempatkan sebagai striker.

Pengembangan sepakbola juga mestinya memerhatikan hal-hal lain di luar liga, seperti infrastruktur dan kemudahan akses bagi pemain untuk berkompetisi di luar negeri, misalnya. Liga Inggris boleh jemawa sebagai liga paling kaya, tapi kalau mentalitas para pemainnya enggan bersaing dengan pemain asing, justru ini yang bisa menjadi masalah di kemudian hari.