Juventus membentuk ‘galacticos‘. Napoli memenangkan perebutan tanda tangan Elif Elmas. AC Milan membangun kembali tim mereka dengan mendaratkan Mateo Musacchio, Lucas Paquetá, dan Theo Hernandez. Inter Milan belum berhenti mengejar jasa Romelu Lukaku. Sementara AS Roma mengumpulkan talenta muda dari seluruh dunia seperti Cengiz Under, Justin Kluivert, dan Ante Coric. Semua transaksi ini membuat Serie-A terlihat mengiurkan.
Lebih tepatnya, mengiurkan (lagi). Meski secara distribusi finansial peserta divisi tertinggi sepakbola Italia masih kalah dari Premier League. Akan tetapi, mereka telah meletakkan modal berharga untuk kembali menjadi kompetisi terbaik dunia layaknya era 90-an. Nama-nama seperti Matthijs de Ligt dan Cristiano Ronaldo barulah awalan.
Pemerintah Italia resmi menyetujui aturan pajak baru di Negeri Pizza. Peraturan tersebut akan membantu kesebelasan-kesebelasan Serie-A untuk mendatangkan bintang-bintang sepakbola yang masih berada di luar Italia. Sama seperti apa yang dilakukan La Liga pada 2003. Ketika Real Madrid mendatangkan David Beckham dari Manchester United.
Guna menarik perhatian bintang dunia seperti Beckham, pemerintah Spanyol memberikan kelonggoran dalam aturan pajak mereka. Membiarkan para pekerja dengan kapasitas tinggi dan berpenghasilan besar layaknya Beckham hanya membayar pajak penghasilan sebesar 24,75%. Keringanan pajak inipun dikenal sebagai ‘Beckham’s Law’ di dunia sepakbola.
Peraturan yang Dirindu La Liga
Foto: ESPN | Tidak bertahan lama.
‘Beckham’s Law’ di Spanyol kemudian dihapus pada 2009. Hal ini pun dianggap berdampak negatif pada sepakbola Spanyol dan jadi awal dari kebangkitan Premier League. “Ini akan membuat La Liga gagal jadi kompetisi terbaik dunia. Tanpa ‘Beckham’s Law’ efek negatif pun akan terasa ke berbagai hal seperti jumlah penonton ke stadion dan hak siar televisi,” ungkap Joan Laporta yang ketika itu menjabat sebagai Presiden FC Barcelona.
CEO Real Madrid Jorge Valdano juga sependapat dengan Laporta. “Jadi nomor dua bukan sesuatu yang layak kita terima. Jika ‘Beckham’s Law’ dihapus, liga kita akan lebih lemah dari Premier League,” kata Valdano. Protes Valdano dan Laporta itu masuk akal. Apalagi Zlatan Ibrahimovic dan Cristiano Ronaldo baru mereka daratkan ketika isu penghapusan ‘Beckham’s Law’ diangkat.
Tanpa keringanan pajak, La Liga akan kesulitan mendatangkan pemain sekelas Beckham atau Ronaldo. Direktur Real Madrid Jose Angel Sanchez sempat meminta pemerintah untuk kembali mengaktifkan ‘Beckham’s Law’ pada 2017.
Menurutnya, sepakbola sebagai industri utama Spanyol harus dijaga. “Kita tidak punya banyak industri ternama di dunia. Sepakbola adalah salah satu yang menjadi unggulan. Saya tidak mengatakan bahwa para pemain bisa bebas dari pajak, tapi harus disesuaikan,” kata Sanchez.
Namun setahun kemudian, pajak justru semakin tidak menguntungkan bagi pesepakbola profesional di Spanyol. Presiden Tebas bahkan mengatakan bahwa tingginya pajak Spanyol menjadi alasan utama Cristiano Ronaldo pergi dari Real Madrid. “Ronaldo memilih negara yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Oleh karena itulah ia ke Juventus,” kata Tebas.
Beckham’s Law di Italia
Padahal Ronaldo mendarat di Turin, ‘Beckham’s Law’ belum diberlakukan di Italia. Namun memang pajak di Italia lebih rendah dibandingkan Spanyol. Ronaldo sendiri juga memiliki masalah pajak di Negeri Matador. Jadi wajar saja jika ia hengkang dari Kota Madrid.
Menjelaskan ‘Beckham’s Law’ yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020 sebenarnya cukup rumit. Pasalnya, aturan di Italia berbeda dengan apa yang diterapkan Spanyol pada masa lalu.
Secara sederhana, aturan ini akan membuat pihak klub mengeluarkan uang lebih sedikit dari sebelumnya. Pemain ataupun pelatih yang dikontrak dari luar Italia dan memiliki jaminan bertahan di Negeri Pizza selama dua tahun juga akan mendapatkan keringanan. Lalu 0,5% dari penghasilan orang-orang yang diuntungkan dari peraturan ini akan masuk ke Asosiasi Sepakbola Italia (FIGC) untuk membantu perkembangan akar rumput.
Mungkin Tifo Football akan memberikan gambaran lebih jelas terkait aturan baru di Italia itu. Tapi pada dasarnya, aturan ini dapat membangkitkan kembali gairah Serie-A seperti periode 90-an. Saat pemain-pemain seperti Gabriel Batistuta, Paul Gascoigne, Marcelo Salas, hingga Paul Ince mewarnai divisi tertinggi sepakbola Italia.
Mulai Terlihat Titik Cerah
Foto: Marca | Nama besar saja tidak cukup.
Alex Thorpe dari Deloitte’s Sports Business Group menjelaskan bahwa penurunan pamor Serie-A tidak lepas dari minimnya sponsor dan pengunjung yang dapat didaratkan klub. “Kesebelasan Italia harus bisa memenuhi stadion dan mendapatkan sponsor yang lebih menarik lagi, karena hal itu menarik perhatian publik. Begitu juga dengan masalah hak siar,” kata Thorpe.
“Dengan banyaknya suporter yang mengisi dan menghidupkan atmosfer stadion, telivisi akan datang dengan fasilitas lebih bagus,” lanjutnya. “Padahal pada 1989/1990, Serie-A adalah kompetisi yang paling banyak menghasilkan uang,” ungkap Thorpe.
“Titik cerah sudah mulai terlihat sejak Juventus membangun stadion baru. Ketika Inter Milan dan AS Roma dimiliki pengusaha asing. Bahkan Udinese juga ikut renovasi. Apabila melihat kondisi di 2012, Serie-A jauh tertinggal. Namun sekarang hanya tinggal menunggu waktu,” jelas Thorpe.
‘Beckham’s Law’ akan membantu Serie-A mendatangkan nama-nama besar. Daya tarik bagi para penikmat sepakbola di sana. Sama seperti ketika Cristiano Ronaldo menjalani debut melawan Chievo Verona.
***
Tapi, nama besar saja tidak cukup. Kesebelasan Serie-A juga perlu berjaya di Eropa. Pasalnya, keberhasilan Serie-A di era 90-an tak lepas dari 15 gelar yang diraih wakil mereka dalam kompetisi antar klub Eropa.
AC Milan tiga kali mengangkat piala Liga Champions. Inter Milan tiga kali menjuarai Piala UEFA. Juventus dan Parma juga tiga menjuarai kompetisi Eropa. Jelas Italia menjadi kiblat sepakbola. Mungkin pada 2019/2020, Juventus, Napoli, Atalanta, Inter Milan, Lazio, AS Roma, atau Torino dapat memulai momentum di Eropa. Membangkitkan kembali Serie-A!