Getafe dan Ambisi Mengukir Sejarah Baru

Foto: The Strait Times

La Liga Santander atau Liga Spanyol sudah menyelesaikan pertandingan ke-27 nya akhir pekan lalu. Barcelona masih memimpin dengan torehan 63 poin, disusul oleh Atletico Madrid dan Real Madrid yang menguntit pada posisi kedua dan ketiga. Tiga nama ini tampaknya akan menyelesaikan kompetisi di urutan tiga besar.

Namun yang menarik adalah melihat siapa yang berada di peringkat keempat sekaligus slot terakhir ke Liga Champions Eropa. Ada nama yang sebenarnya tidak bisa diprediksi bisa nangkring di posisi tersebut. Bukan Athletic Bilbao, Sevilla, Real Sociedad, maupun Villarreal yang berada di posisi tersebut, melainkan Getafe. Klub yang letaknya tepat di tengah-tengah kota Madrid.

Getafe sedang meniti asa untuk menggapai prestasi terbaik yang akan menjadi sejarah sepanjang 35 tahun mereka berdiri. Mereka bahkan punya kesempatan untuk menempati peringkat ketiga mengingat jarak antara mereka dengan rival Real Madrid hanya dipisahkan enam poin saja. Namun peringkat tiga atau pun empat akan terasa sama saja bagi Getafe. Yang penting mereka bisa bermain di Liga Champions pada musim 2019/2020 mendatang.

“Dengan performa seperti sekarang ini, kami ingin memperkenalkan klub ini ke dunia luar. Klub saat ini sedang mengincar untuk tampil di kompetisi sepakbola Eropa. Saat ini, klub sedang berkembang sangat pesat,” kata Albert Heras selaku Marketing Director Getafe.

Peluang mereka untuk menggapai harapan tersebut terbuka lebar. Pekan lalu, mereka mengalahkan Huesca 2-1. Kesebelasan yang bermarkas di Coliseum Alfonso Perez ini memperlebar jarak dari Alaves menjadi empat poin yang disaat bersamaan ditahan imbang Eibar 1-1. Hasil melawan Huesca memperpanjang rentetan tanpa kekalahan mereka menjadi enam laga dan membuka peluang untuk mempertahankan posisi empat besar atau minimal mencuri satu tiket ke Liga Europa.

Konsistennya penampilan Azulones sebenarnya sudah dimulai sejak musim lalu saat mereka berstatus sebagai tim promosi. Mereka mengakhiri La Liga saat itu pada urutan kedelapan dan hanya berselisih tiga poin saja dari Sevilla selaku penerima slot terakhir ke Liga Europa. Penghuni tiga besar saat itu pun cukup kesulitan untuk mengalahkan mereka.

Meraih Mimpi Bersama Bordalas

Salah satu faktor yang membuat Getafe cukup konsisten dalam tiga musim terakhir adalah keberadaan Jose Bordalas sebagai pelatih. Dialah yang membawa Getafe kembali promosi setelah hanya semusim saja berkutat di Segunda Division. Bordalas baru berusia 19 tahun saat klub ini pertama kali didirikan.

Karier sepakbola Bordalas sebenarnya cukup suram. Pada usia 28 tahun, ia harus pensiun dini karena mengalami cedera lutut yang tidak bisa disembuhkan. Ketika memasuki dunia kepelatihan, ia hanya berkutat di tim-tim kecil seperti Alicante, Benidorm, Mutxavista hingga Novelda. Bahkan ia seringkali mengalami pemecatan seperti saat menangani Hercules dan Alaves pada 2014 lalu.

Ketika pertama kali memegang Getafe, kapasitas Bordalas sempat tidak bisa menarik kepercayaan dari Angel Torres selaku Presiden mereka. Namun prestasi meraih promosi, menduduki peringkat delapan, dan berada di empat besar seolah menjadi tanda kalau Bordalas bukan pelatih kacangan. “Ketika menangani Getafe, Anda selalu menginginkan lebih,” katanya.

Dalam kolomnya di Daily Mail, Pete Janson menyebut kalau Getafe memiliki kemiripan dengan kesebelasan Inggris yaitu Wimbledon musim 1988 yang dijuluki Crazy Gang. Hal ini dikarenakan Getafe memiliki kemiripan dari segi gaya bermain dengan tim yang saat itu menjuarai Piala FA tersebut.

Baca juga: Alaves dan Utang 16 Tahun yang Siap Terbayar

Bordalas memainkan skema 4-4-2 yang begitu efisien dengan berfokus kepada pressing dan umpan-umpan panjang ke depan yang mengingatkan kita dengan pakem Kick n Rush ala Inggris. Mereka akan memainkan sepakbolanya dengan rapat, keras, dan lugas. Transisi cepat dalam melakukan serangan balik juga menjadi ancaman bagi lawan-lawan yang dihadapinya.

Gaya main mereka tidak jauh berbeda dari rival sekotanya, Atletico Madrid, yang sama-sama menekankan solidnya lini pertahanan. Hanya Atletico Madrid dan Valencia yang memiliki lini belakang lebih baik dibanding Getafe. Sosok David Soria dan Djene Dakonam adalah alasan mengapa gawang mereka cukup sulit dibobol.

Tidak jarang gaya main seperti ini membuat lawan-lawannya menjadi sebal. Salah satunya adalah Marcelino Toral. Pelatih Valencia ini mengkritik Getafe dengan menyebut tim ini ‘bermain di batas aturan permainan’. Namun ucapan ini dibalas oleh Bordalas dengan menyebut Marcelino sebagai bayi cengeng.

Selain Bordalas, kunci kesuksesan Getafe lainnya adalah Jorge Molina dan Jaime Mata. Pasangan penyerang ini sudah mencetak 23 gol dengan Mata membuat 13 dan sisanya diborong oleh Molina. Pasangan ini hanya kalah dari duet Luis Suarez dan Lionel Messi saja soal kombinasi jumlah gol dan asis pada musim ini.

Bordalas memiliki kepribadian yang berapi-api. Tidak jarang dia akan menumpahkan amarahnya langsung kepada para pemainnnya. Namun pendekatan keras ini justru membuat penggawa Azulones menjadi sosok tangguh di atas lapangan. “Tim ini seperti keluarga. Kamu harus melihat hubungan antara tim, staf pelatih, dan para penggemar,” kata Vitorio Antunes.

Baca juga: Vinicius, Solari, dan Castilla

Getafe dan Sepakbola Eropa

Sepanjang sejarahnya, Getafe hanya dua kali mencicipi turnamen Eropa dan keduanya adalah Europa League. Mereka pertama kali bermain pada musim 2007/2008 atau saat kejuaraan ini masih bernama Piala UEFA. Kesempatan ini berhasil mereka raih setelah mereka meraih posisi runner-up Copa Del Rey.

Debut pertama mereka di Eropa terbilang sangat mengejutkan. Berada di Grup G bersama Tottenham Hotspur, Anderlecht, Aab Alborg, dan Hapoel Tel Avis, mereka sukses menjadi juara grup. Pada babak 32 besar, mereka menyingkirkan Aek Athens dengan agregat 4-1. Benfica kemudian menjadi korban berikutnya pada babak 16 besar.

Langkah mereka baru terhenti oleh raksasa Jerman, Bayern Munich. Namun mereka tersingkir dengan terhormat karena kalah gol tandang. Hasil imbang 3-3 di Alfonso Perez menjadi pengganjal asa mereka ke empat besar.

Kesempata kedua didapat oleh Getafe pada musim 2010/2011. Akan tetapi, mereka tersingkir di fase grup karena kalah bersaing dengan Young Boys dan VFB Stuttgart.

Baca juga: Paco Alcacer, Super-sub Calon Pemain Terbaik Dunia

***

Saat ini, Getafe berada dalam pole position untuk meraih tiket terakhir ke Liga Champions. Namun mereka tidak boleh lengah. Ada Alaves, Sevilla, Valencia, dan Real Betis yang siap menggusur mereka apabila lengah. 11 pekan ke depan akan menjadi laga penentuan bagi mereka untuk membuat sejarah baru di kota Madrid.