Bayangkan Anda tinggal di negara yang menderita dualisme kepemimpinan. Apa jadinya jika pemimpin tersebut mempunyai dua kebijakan yang saling bertentangan? Kacau? Sudah pasti. Tidak jelas? Pastinya. Yang jelas, itulah fenomena yang terjadi pada sepakbola Indonesia di kisaran tahun 2012. Saat-saat ketika konflik lebih dikedepankan alih-alih fokus membangun prestasi.
Semua diawali dari keputusan PSSI yang mengesahkan Indonesia Primer League (IPL) sebagai kompetisi profesional menggantikan Indonesia Super League (ISL). Sebelumnya, ISL adalah kompetisi profesional sementara IPL, yang ketika itu menjalani tahun pertamanya adalah liga tandingan. Hal ini menimbulkan pemberontakan dari tim-tim peserta ISL yang didukung oleh beberapa anggota Exco yang menolak IPL. Beberapa anggota ISL dan Exco ini kemudian membentuk federasi baru bernama Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI)
Dua kompetisi ini akhirnya berjalan beriringan. Mirisnya, dualisme kompetisi juga memunculkan dualisme klub. Beberapa kesebelasan tiba-tiba membelah diri menjadi dua versi. Arema, Persija, dan Persebaya, adalah tiga tim yang namanya ada di dua kompetisi tersebut.
Imbas dari dualisme ini berdampak sangat panjang. Persipura Jayapura nyaris saja didiskualifikasi dari Liga Champions Asia (LCA) karena liga yang mereka ikuti berstatus tandingan atau breakaway. Beruntung, pengadilan arbitrase olahraga memutuskan untuk mengembalikan Persipura ke kompetisi LCA meski memulai dari babak kualifikasi.
Tim nasional terkena dampak yang paling signifikan dari kejadian ini. Para pemain langganan timnas yang bermain di ISL tidak diperbolehkan untuk memperkuat negaranya karena status liga mereka yang breakaway alias tandingan. Maka dari itu, Aji Santoso, pelatih timnas senior saat itu kesulitan dalam mencari pemain terbaik dari IPL.
Buntut dari masalah ini adalah dibantainya timnas Indonesia 10-0 dari Bahrain dalam kualifikasi Piala Dunia 2014. Hasil ini adalah kekalahan terburuk sepanjang masa tim nasional dalam kompetisi resmi.
Momentum tersebut kemudian dimanfaatkan oleh KPSI untuk membentuk timnas versi mereka. Layaknya timnas profesional, mereka juga mengadakan uji coba di Australia. Yang membuat geli, tim KPSI meraih kemenangan telak 8-0 menghadapi kesebelasan yang baru 24 jam dibentuk.
Piala AFF Jadi Korban
Kekalahan 10-0 dari Bahrain membuat posisi Aji digantikan oleh Nil Maizar. Akan tetapi, nasib Nil tidak jauh beda dari Aji. Ia juga tidak bisa memanggil para pemain terbaik yang mayoritas berkiprah di ISL. Mantan pelatih Semen Padang ini mungkin merasa kesal, kenapa ia harus memimpin tim nasional di tengah-tengah konflik? Tangisannya di tengah-tengah menyanyikan lagu Indonesia Raya ketika Indonesia melawan Vietnam di ajang uji coba menjadi bukti betapa kacaunya Nil saat itu.
Untuk mengakali komposisi skuat di AFF, PSSI kemudian menaturalisasi tiga pemain yaitu Raphael Maitimo, Tonnie Cussel, dan Jhon van Beukering. Akan tetapi, ketiganya tidak ada yang memberikan kontribusi yang signifikan. Nama terakhir, bahkan lebih dikenal karena badannya yang kegemukan serta kasus kebun ganja yang sempat viral beberapa waktu lalu.
Para pemain yang bermain di ISL bukannya tidak mau untuk memperkuat timnas. Mereka terjebak sifat egois para pemilik klub tempat mereka bermain. Mereka diancam akan diputus kontrak jika memilih panggilan timnas. Para pemain dituntut untuk memilih, membela bangsa dengan risiko dapur tidak ngebul atau tetap memperkuat klub namun dicap tidak nasionalis.
Bambang Pamungkas menjadi perwakilan ISL yang memutuskan berontak melawan kisruh tersebut. Apa yang Bepe lakukan, semata-mata demi kepentingan negara. Ia sedih karena dalam turnamen sepenting Piala AFF, timnas tidak bisa diperkuat pemain terbaiknya. Langkah striker Persija ini kemudian diikuti oleh Okto Maniani.
“Bagaimana bisa para pengurus berani mengatakan demi bangsa, demi negara, tapi para pemain dilarang membela negaranya? Dan ketika timnas ditinggal pemain terbaiknya, saya merasa terpanggil dan sudah menjadi tanggung jawab saya untuk berada di sana,” tuturnya.
Selain Bambang, Okto, dan tiga pemain naturalisasi tadi, coach Nil hanya bisa memanggil pemain-pemain yang jumlah penampilannya di tim nasional tidak sampai 10 kali. Mereka adalah Handi Ramdhan, Novan Setya, Nopendi, Fachrudin Aryanto, Taufik, Samsul arif, Wahyu Tri Nugroho, Wahyu Wijiastanto, Rasyid Bakri, Valentino Telaubun, Andik Vermansyah, Endra Prasetya, Cornelius Geddy, Vendry Mofu, dan Muhammad Rachmat. Hanya Irfan Bachdim dan Ellie Aiboy, pemain yang pengalamannya sudah lebih banyak dibanding pemain lainnya.
Di Piala AFF, Indonesia tergabung di grup B bersama Laos, Singapura, dan Malaysia. Bayangan kalau Indonesia akan menderita hasil buruk langsung terasa di pertandingan pertama menghadapi Laos. Negara yang sering menjadi lumbung gol timnas ini, tiba-tiba sanggup menahan imbang mereka 2-2. Indonesia bahkan tertinggal dua kali sebelum Maitimo dan Mofu menyelamatkan wajah Indonesia.
Meski begitu, skuat compang-camping ini masih bisa membuat kejutan. Pada pertandingan kedua melawan Singapura, Andik mencetak gol indah melalui tendangan bebasnya dan memberikan tiga poin pertama sekaligus kemenangan pertama Indonesia atas Singapura setelah tujuh laga tidak pernah menang.
Indonesia masih bisa lolos jika di laga terakhir sanggup mengalahkan juara bertahan, Malaysia. Akan tetapi, misi tersebut gagal dijalankan dengan baik. Indonesia kalah 0-2 dan harus tersingkir dari turnamen. Singapura, yang berhasil dikalahkan Indonesia, justru keluar sebagai pemenang.
Piala AFF 2012 menjadi turnamen terburuk yang pernah diikuti oleh tim nasional. Jumlah tiga gol yang mereka buat adalah yang terendah sepanjang sejarah. Semua karena dualisme yang begitu menyebalkan.
Serial Lengkap Timnas Indonesia di Piala Tiger/Piala AFF: (1) Indonesia di Piala AFF 1996: Dikalahkan Tetangga Gara-Gara Mata (2) Indonesia di Piala AFF 1998: Terkenal Karena Skandal (3) Indonesia di Piala AFF 2000: Kalah Karena Terlalu Lemah Lembut (4) Indonesia di Piala AFF 2002: Sial di Kandang Sendiri (5) Indonesia di Piala AFF 2004: Menawan, Tapi Tetap Gagal (6) Indonesia di Piala AFF 2007: Gagal Karena Minim Produktivitas (7) Indonesia di Piala AFF 2008: Kuat Lawan Tim Lemah, Lemah Lawan Tim Kuat (8) Indonesia di Piala AFF 2010: Kalah Karena Terlalu Euforia