Tiga bulan jelang digelarnya Piala Dunia 1966 di Inggris, FIFA dibuat kalang kabut. Trofi agung Jules Rimet hilang saat dipamerkan di Westminster. Beruntung ada seekor anjing bernama Pickles yang menemukan piala tersebut terbungkus koran di wilayah London Selatan. Inggris hampir saja dibuat malu oleh kejadian tersebut.
Atas jasanya tersebut, David Corbett, selaku pemilik Pickles diberi imbalan sebesar 6.000 paun. Pickles bahkan sempat bermain dalam sebuah film. Akan tetapi, setelah piala tersebut ditemukan, beberapa orang yang terkait justru meninggal dunia. Joe Mears, Presiden FA meninggal beberapa hari kemudian akibat serangan jantung, Pickles tewas tertimpa pohon, sementara sang pencuri, Edward Bletchley, meninggal di penjara.
Kejutan Juara Bertahan
Piala Dunia 1966 pun sebenarnya tidak berjalan menarik. Pada babak kualifikasi, seluruh negara Afrika menolak untuk tampil karena mereka ingin adanya perubahan regulasi. Saat itu, negara yang lolos dari zona Afrika diharuskan untuk bertanding kembali melawan wakil Asia. Hal ini yang kemudian ditolak oleh 31 negara saat itu.
Pada babak penyisihan grup Piala Dunia 1966 pun banyak kesebelasan yang mulai bermain defensif dan hanya mementingkan kemenangan. Mereka akan bertahan habis-habisan lalu menyerang dengan serangan balik apabila ada kesempatan. Meski begitu, segala permasalahan tersebut hilang seiring kejutan yang terjadi sepanjang penyelenggaraan.
Kejutan pertama muncul dari juara bertahan, Brasil. Mereka menjadi juara bertahan pertama yang tersingkir pada babak penyisihan grup. Meski menang dari Bulgaria pada laga pertama, mereka justru takluk dari Portugal dan Hungaria di sisa laga berikutnya.
Penyebab tersingkirnya Samba saat itu adalah ketidakmampuan mereka untuk melepas keterrgantungan mereka kepada Pele. Pada pertandingan pertama melawan Bulgaria, Pele beberapa kali dikepung hingga empat pemain dan bahkan mendapatkan tekel keras sehingga ia absen pada laga melawan Hongaria.
Pele sebenarnya belum pulih benar ketika dimainkan dalam laga hidup mati melawan Portugal. Dalam laga di Goodison Park tersebut, Pele kembali dihantam tekel keras dari Morais yang tepat mengarah ke lututnya. Sambil keluar lapangan, Pele pun menangis dan mengutarakan kalau dia tidak ingin main lagi pada ajang empat tahunan tersebut.
“Saat itu saya hanya ingin mengakhiri semuanya dan tidak pernah mau bermain di Piala Dunia lagi karena saya terus-terusan dicederai oleh lawan,” ujarnya dalam biografi Pele: His Life and Times.
Bintang dari Asia Timur
Koran The Times mengulas Korea Utara dalam Piala Dunia 1966 dengan kalimat, “Kecuali mereka adalah tukang akrobat dan berlari dengan bola di leher, maka Uni Soviet dan Italia akan menang mudah.”
Isi kalimat tersebut menegaskan kalau Korut hanyalah tim biasa-biasa saja. Hal itu tercermin saat mereka tumbang dari Uni Soviet 2-0 di laga pertama Grup 4. Akan tetapi, saat mereka sanggup menahan Chile 1-1, beberapa pihak termasuk The Times sendiri mulai merasa kalau Si Nyamuk Merah bisa membuat kejutan.
Mereka pun melakukannya di partai terakhir melawan Italia. Nama besar macam Sandro Mazzola dan Gianni Rivera ciut setelah mereka dikalahkan 0-1 oleh gol tunggal Pak Doo Ik. Kemenangan ini membawa mereka lolos ke perempat final yang disambut dengan tangis haru para pemain di lapangan Ayresome Park.
“Kami diberi pesan oleh pemimpin kami Kim Il Sung. Dia meminta kami untuk meraih minimal satu atau dua kemenangan saja,” ujar salah satu pemainnya Lim Zoong Sun dalam dokumenter berjudul The Game of Their Lives yang diproduksi oleh BBC.
Kesuksesan tersebut disambut meriah oleh warga Middlesbrough yang merupakan home base mereka selama turnamen. Warga lokal mendapat idola baru pada ajang tersebut. Saat mereka akan menghadapi Portugal di perempat final, tercatat 3000 warga Middlesbrough mengiringi perjalanan mereka ke stadion.
Penduduk lokal menyukai gaya permainan yang ditunjukkan kesebelasan asuhan Myung Rye Hyun tersebut. Di saat beberapa negara memainkan sepakbola negatif alias bertahan, maka Korut memilih untuk tampil menyerang dan menunjukkan permainan menghibur penuh determinasi.
Sayangnya, penampilan menghibur Korut mentok di tangan Portugal. Sudah unggul 3-0 dalam waktu 25 menit, tiba-tiba Portugal bangkit dan mencetak lima gol yang empat diantaranya dibuat oleh top skor turnamen, si Black Panther Eusebio.
Pulangnya Trofi ke Rumah Sepakbola
Football Coming Home, itulah pesan yang didengungkan masyarakat Inggris ketika mengetahui negara mereka menjadi tuan rumah. Kepastian mereka menjadi penyelenggara juga meningkatkan status mereka sebagai unggulan pada turnamen tersebut.
Skuat asuhan Alf Ramsey saat itu diisi nama-nama beken di kompetisi First Division macam Charlton bersaudara, Gordon Banks, hingga sang kapten ikonik, Bobby Moore. Dengan bercokolnya para bintang tersebut, tentu diharapkan Piala Jules Rimet akan kembali ke rumah sepakbola.
Nyatanya mereka sanggup melakukannya dengan sangat baik. Di penyisihan grup, mereka menjadi satu-satunya kesebelasan yang lolos ke perempat final tanpa kebobolan satu gol pun. Ketika melawan Argentina di babak delapan besar pun, Inggris kembali nirbobol dalam pertandingan yang menjadi cikal bakal perseteruan antar kedua negara di masa yang akan datang.
Gawang Banks baru kebobolan di semifinal saat mereka menang 2-1 atas Portugal. Partai puncak pun mempertemukan Tiga Singar dengan Jerman Barat. Di Wembley, Inggris tertinggal terlebih dulu melalui Helmut Haller sebelum dibalas Geoff Hurst. Inggris berbalik unggul melalui Martin Peters yang dibalas oleh Wolfgang Weber sehingga laga harus dimainkan hingga extra time.
Kontroversi di Final
Pada babak tambahan waktu inilah, momen kontroversial terjadi. Geoff Hurst yang menerima bola dari Alan Ball melepaskan tendangan yang membentur mistar lalu memantul tepat di garis gawang sebelum dibuang keluar oleh Weber.
Wasit Geoffrient Dienst kemudian menghampiri asisten wasit, Tofik Bakhramov yang kemudian mengatakan “Gol”. Sontak, Dienst menunjuk titik tengah dan mengesahkan gol tersebut. Hurst kemudian melengkapi kemenangan Inggris melalui gol ketiganya. Dia menjadi satu-satunya pemain hingga saat ini yang bisa membuat trigol di final Piala Dunia.
Gol kontroversial tersebut kemudian melekat dalam perjalanan sejarah Inggris meraih Piala Dunia pertamanya. Jika warga Inggris begitu bahagia maka lain halnya dengan warga Jerman. Mereka menjadikan Dienst sebagai musuh nomor satu bagi mereka hingga Dienst meninggal dunia pada 1998.
Seri dan Sejarah Piala Dunia:
(1) Piala Dunia 1930: Rumit, Perjalanan Jauh, Serta Final Dua Bola (2) Piala Dunia 1934: Mussolini, Oriundi, Hingga Hukuman Mati (3) Piala Dunia 1938: Diundi Cucu, Debut Indonesia, Dan Sensasi Leonidas (4) Piala Dunia 1950: Aksi WO, Tumbangnya Raja Sepakbola, dan Kesombongan Brasil (5) Piala Dunia 1954: Banyak Gol, Pertarungan Bern, dan Sepatu Adidas (6) Piala Dunia 1958: Anti Israel, Berkah Sepatu Pinjaman, dan Sinar Pele (7) Piala Dunia 1962: Pertempuran Santiago, Kemunculan Garrincha, Takhayul Cile