Timnas U-16 dan Beban-Beban Tak Perlu (Lagi)

Foto: PSSI.org

Dalam beberapa waktu ke belakang, Timnas U-16 Indonesia seolah menjadi oase sepakbola nasional. Mereka diagung-agungkan bak juru selamat berkat prestasi yang mereka torehkan.

Seiring dengan perjalanan para pemain Timnas U-16 di ajang Piala Asia U-16 2018 yang dihelat di Malaysia, kondisi sepakbola nasional tengah kacau. Publik dihebohkan oleh kasus kematian Haringga Sirla, suporter Persija. Pria berusia 23 tahun tersebut tewas setelah dikeroyok sekelompok oknum suporter Persib di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, 23 September 2018.

Kasus kematian Haringga ini membuka mata publik. Sepakbola nasional masih kacau. Sepakbola nasional belum baik-baik saja. Suara-suara menuntut perbaikan tata kelola sepakbola nasional kembali menggema, dan hal ini terdengar sampai ke Malaysia sana, tempat di mana Timnas U-16 berlaga di Piala Asia.

Baca juga: Lingkaran-Lingkaran Setan Sepakbola Indonesia

Suporter yang memadati Stadion Bukit Jalil, Malaysia, dalam laga “matchday” kedua fase grup Piala Asia U-16 membawa spanduk bertuliskan ‘Bersatulah Suporter Indonesia’. Mereka juga menyuarakan keprihatinan terhadap kematian Haringga, dan meminta agar sebab dan pelaku dari kematian Haringga ini diusut tuntas. Hal ini semata demi sepakbola Indonesia.

Para pemain Timnas U-16 yang bertanding juga terpengaruh oleh gema ini. Dalam kondisi liga yang dihentikan sejenak, para suporter memalingkan mata ke Bukit Jalil. Apalagi, Timnas U-16 dengan mantap melangkah ke babak perempat final Piala Asia U-16. Satu kemenangan lagi, mereka akan melangkah ke Piala Dunia U-17 di Peru tahun depan.

Tekanan, ekspektasi, dan harapan pun membubung tinggi, menghinggapi pundak bocah-bocah yang rata-rata masih berusia di bawah 16 tahun tersebut. Jika sudah seperti itu, kita sudah tahu lingkaran setan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Baca juga: Dampak Kerusakan Penghentian Sementara Liga Indonesia untuk Piala AFF 2018

Gangguan untuk Timnas U-16

Para pemain Timnas U-16, pada 1 Oktober 2018 sore kemarin, memasuki Stadion Bukit Jalil dengan aura berbeda. Selain karena menghadapi Timnas U-16 Australia di laga perempat final Piala Asia U-16, mereka dinaungi oleh suasana duka. Pita hitam terbelit di lengan mereka, menandakan bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan sepakbola Indonesia. Ya, Indonesia berduka karena Haringga.

Tapi, hal ini seolah memberikan sebuah tekanan tersendiri bagi para remaja tersebut. Permainan Timnas U-16 menjadi tidak santai, terkesan buru-buru ingin mencetak gol. Mungkin pengalaman dan asuhan cara main membedakan, tapi, terburu-buru dalam fase gugur seperti ini menandakan ada yang membebani para anak-anak tersebut. Berburu kemenangan adalah hal wajib, tapi, bukan berarti jalan untuk meraih kemenangan tersebut harus diraih secara grasa-grusu.

Baca juga: Andai Indonesia Izinkan Kewarganegaraan Ganda

Tak ada lagi permainan indah dari kaki ke kaki seperti di fase grup Piala Asia U-16. Tidak ada lagi keberanian yang gigih seperti halnya ketika menundukkan Timnas U-16 Iran di laga awal fase grup. Yang ada hanya ketidaktenangan dan usaha untuk mencetak gol lebih cepat. Ada sesuatu yang melingkupi para pemain tersebut, seperti sebuah hasrat untuk menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat.

Pada akhirnya, di babak pertama, mereka sukses unggul terlebih dahulu lewat gol Sutan Zico. Tapi, di babak kedua, kita tahu apa yang terjadi. Gelontoran gol demi gol hadir ke gawang Timnas U-16, membuat keunggulan berbalik menjadi kekalahan 3-1. Skor sempat diperkecil menjadi 3-2, namun hal itu sudah terlambat. Timnas U-16 kalah. Mimpi berlaga di Piala Dunia U-17 tahun depan pun sirna.

Semua hanya karena tekanan berupa semangat menunjukkan martabat sepakbola Indonesia di kancah internasional, padahal di akar rumput, masalah besar sedang terjadi. Para remaja inilah yang akhirnya harus menanggung beban. Ah, andai saja mereka diberikan kebebasan dan tidak dibebani apa-apa.

Pujian untuk Tim U-16

Sesudah laga, puja-puji tetap hadir bagi para pemain Timnas U-16. Pelatih Australia memuji mereka. Presiden Republik Indonesia bahkan menjamu mereka ke Istana Negara untuk makan-makan. Perjuangan mereka tidak dilupakan dan dirayakan. Para remaja itu, setelah bersua Presiden, tampaknya sedikit berkurang bebannya.

Tapi, sebenarnya ada masalah di situ yang dilupakan seiring dengan perayaan yang dilakukan di Istana. Terkadang, kita masih membebankan hal-hal tidak perlu kepada para remaja yang sebenarnya sedang bersenang-senang di Malaysia sana. Para remaja yang harusnya hanya tahu main, dibebankan masalah orang-orang dewasa yang ceroboh, yang kadang bertindak juga selayak anak kecil ketika meluap emosinya.

Baca juga: Jangan Menjadi Orang Dewasa, Timnas U-16!

Maka, teruntuk Rendy Juliansyah dkk., juga Bagas-Bagus, santailah dulu. Jangan dulu terpikir kuliah atau akan main di klub apa sudah besar nanti. Bersenang-senanglah dulu. Bersenang-senang sampai akhirnya kalian puas, dan tak terasa masa remaja terlalui. Baru setelah itu, ketika kalian masuk usia 17 tahun ke atas, baru berpikir soal masa depan, sambil jangan lupa bersenang-senang tentunya.

Dan bagi kita, para orang dewasa yang sok tahu, berhenti membebani pikiran para remaja ini dengan hal macam-macam. Biarkan apa yang kita perbuat, kita pertanggungjawabkan tanpa melibatkan mereka yang tidak terlibat, apalagi para remaja tanpa dosa ini.