Hidup bagaikan seutas tali. Setiap awal selalu ada akhir; setiap pertemuan selalu ada perpisahan; setiap perjumpaan selalu berakhir dengan lambaian tangan. Kini, publik sepakbola Inggris hidup di akhir sebuah era bernama loyalitas.
Arsene Wenger memutuskan untuk tidak lagi membesut Arsenal musim depan. Keputusan ini terasa melegakan sekaligus membingungkan. Perjalanan Arsenal pun kini dihiasi dengan banyak pertanyaan.
Wenger memang bukan sosok suci di mata semua penggemar Arsenal. Ada yang cinta, tak sedikit yang benci. Gara-gara dia, Arsenal sering menjadi bahan cemoohan. Tak jarang, para penggemar membuat desakan, agar dirinya segera mundur dari takhta kepemimpinan.
Kini, setelah resmi menyatakan berhenti, justru hadir kondisi yang membingungkan. Siapa yang akan meneruskan kesuksesan Arsene Wenger? Apakah Arsenal tetap bisa stabil tanpa guncangan di tangan manajer baru?
Baca juga: Memahami Beban Berat Manajer Klub Sepakbola
Arsene Sang Penabrak Dominasi
Di awal kariernya bersama The Gunners, tidak ada yang menyangka kalau pria berkebangsaan Prancis ini bisa memberi kejayaan. Salah seorang yang skeptis di antaranya adalah Sir Alex Ferguson. Apalagi, di awal-awal kariernya, kerjaan Wenger cuma mengeluh soal jadwal yang padat.
“Tahu apa dia? Dia kan baru datang dari Jepang,” tulis Fergie dalam My Autobiography.
Saat itu sendiri, Manchester United di bawah arahan Fergie baru saja bangkit. Saat kompetisi Liga Inggris diperkenalkan ulang menjadi Premier League, The Red Devils-lah penguasanya. Sebelum Arsene datang, MU sudah meraih tiga trofi Premier League dari empat musim. Satu-satunya kesebelasan yang bisa menghentikan hegemoni United hanyalah Blackburn Rovers.
Kedatangan Wenger sendiri awalnya bukan karena prestasi klub yang buruk di tangan manajer sebelumnya. Berdasarkan harian The Guardian pada 13 Agustus 1996, keputusan manajemen memecat Bruce Rioch tak lain karena perselisihan terkait bursa transfer. Hubungannya dengan David Dein pun kian memburuk seiring berjalannya waktu.
Awalnya Arsenal akan merekrut Johan Cruyff. Akan tetapi Dein justru mengajukan nama Wenger yang kala itu membesut Nagoya Grampus Eight. Karena penunjukkan kemungkinan tertunda dan melewati batas transfer, manajemen pun mendatangkan Patrick Vieira dan Remi Garde; yang keduanya adalah pemain Prancis.
Setelah dilepas oleh Nagoya secara resmi pada 22 September 1996, barulah Arsene Wenger diperkenalkan pada 1 Oktober 1996. Pada hari itu, dimulailah perubahan pada Arsenal. Selain lebih berbau Prancis, yang paling terasa adalah mulai terisinya lemari trofi The Gunners.
Baca juga: 4 Calon Pengganti Arsene Wenger
Meracik Skuat ala Wenger
Sir Alex menyebut kalau Wenger adalah jenis manajer yang bisa membedakan mana kehidupan di luar lapangan dan kehidupan saat pertandingan berlangsung. Ia bisa menjadi dua orang yang berbeda. Di kehidupan nyata, Wenger adalah sosok yang tenang. Dia enak dijadikan teman dan bisa bercakap-cakap mengenai banyak hal.
“Dia adalah rekan seprofesi yang baik. Tetapi, kalau sudah menyangkut timnya–pada hari pertandingan–dia benar-benar beda,” tulis Fergie.
Berbeda yang dimaksud Fergie adalah cara dia menghadapi lawan. Menurut Fergie, Wenger mirip dengannya. Ia sama-sama tak suka dengan kekalahan. Maka, Wenger enggan menyebut kelemahan timnya dan lebih memilih menyerang lawan. Pun ketika pemainnya mendapatkan terjangan dari lawan, Wenger akan bereaksi dengan keras. Padahal Arsenal punca catatan kedisiplinan terburuk di awal kedatangan Wenger.
Meskipun demikian, “Tim-timnya Arsene tidak pernah kotor. Sebutan yang lebih tepat mungkin: mudah meledakdan Macho. Mereka siap bertempur,” tulis Fergie.
Lewat racikan yang tepat, Wenger langsung meraih double di musim keduanya. Selanjutnya, Arsenal membangun tim dan menyiapkan mereka menjadi kekuatan yang jauh lebih menakutkan.
Mendominasi Premier League
Setelah gelar liga pertamanya buat Arsenal, Wenger pun menyiapkan tim kuat. Di pos kiper ada nama David Seaman yang hampir tak tergantikan. Di lini pertahanan, ada Martin Keown, Ashley Cole, Lauren, Sol Campbell, dan Giles Grimaldi. Di tengah, ada Patrick Vieira, Freddie Ljunberg, Robert Pires, Ray Parlour, hingga Giovanni van Bronckhorst. Sementara lini serang Arsenal dihuni Thierry Henry, Sylvain Wiltord, dan Dennis Bergkamp.
Nama-nama di ataslah yang membawa Arsenal mengakhiri gelar Premier League tiga kali beruntun Manchester United. Di musim itu pula, Arsenal kembali meraih double, dan puncaknya terjadi pada musim 2003/2004. Saat itu, Arsenal meraih gelar liga dengan status tak terkalahkan alias invincibles.
Baca Juga: Tentang Wenger yang Hampir Menjadi Manajer Manchester United
Loyalitas di Premier League
Arsenal memang tak lagi memenangi Premier League sejak musim invincibles. Akan tetapi ada sejumlah capaian yang mungkin cuma Wenger yang bisa meraihnya.
Wenger bukan sekadar manajer yang cuma mengurusi taktik di atas lapangan. Taufiq Nur Shiddiq, dalam Tidak Boleh Tidak Mengucap Merci Arsene, menyoroti bagaimana Wenger ambil bagian dalam proses perubahan Arsenal dari klub lokal menjadi klub yang mengglobal. Salah satu caranya adalah lewat kepindahan dari Highbury ke Emirates.
Membangung stadion jelas tidak murah. Arsenal juga bukan kesebelasan yang menjadikan minyak Rusia atau Timur Tengah sebagai bahan bakar menjalankan tim. Ini yang membuat Arsenal mesti berhemat di sana sini. Salah satu aspek yang mendapat perhatian adalah gaji dan biaya transfer pemain.
Di era transisi tersebut, Arsenal terkesan benar-benar hitung-hitungan soal pendapatan dan pengeluaran. Pada musim 2006/2007, Arsenal cuma mengeluarkan 15 juta paun yang sebagian besar di antaranya dikeluarkan untuk membeli Tomas Rosicky dan Denilson. Namun, Arsenal juga melepas Ashley Cole ke Chelsea.
Di musim selanjutnya, Arsenal memang mengeluarkan 30 juta paun untuk mendatangkan di antaranya Eduardo, Bacary Sagna, Lukasz Fabianski, hingga Lassana Diarra. Namun, Arsenal juga mendapatkan 57 juta paun dari penjualan Thierry Henry dan Jose Antonio Reyes.
Salah satu musim yang paling irit adalah pada musim 2009/2010 di mana Arsenal mengeluarkan 12 juta paun untuk Thomas Vermalen, tapi mendapatkan 47 juta paun dari penjualan Emmanuel Adebayor dan Kolo Toure ke Manchester City.
Mereka yang melihat beratnya Wenger mengelola tim dengan keadaan finansial terbatas, mewajari kondisi ini. Akan tetapi, yang namanya kompetisi tentu membutuhkan trofi sebagai bukti. Hal ini yang agaknya membuat posisi Wenger menjadi tidak stabil. Salah satunya saat Manchester City lewat kekayaan Timur Tengahnya bisa menjadi juara padahal sebelumnya bukanlah kesebelasan yang diperhitungkan.
Kalau mau melihat catatan prestasi Arsenal sejak 2006, Wenger sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Arsenal selalu berada di empat besar. Bahkan, pada musim 2015/2016, Arsenal berada di peringkat kedua di bawah Leicester City. Namun, musim lalu Arsenal memang gagal lolos ke Liga Champions. Akan tetapi perjalanan The Gunners di Europa League pun tidaklah buruk. Arsenal melaju hingga babak semifinal, setelah mengalahkan CSKA Moscow 6-3, AC Milan 5-1, dan Red Star Belgarde 4-0.
Baca juga: Saat Arsene Wenger Menjadi Tameng Penurunan Prestasi Arsenal
Akhir Sebuah Era
Setelah Sir Alex Ferguson pensiun, praktis satu-satunya simbol loyalitas di Premier League hanyalah Arsene Wenger. Semua penggemar Arsenal jelas paham bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, pun dengan pos manajerial. Wenger suatu saat pasti akan berhenti.
Berhentinya Wenger amat wajar apabila diratapi oleh sebagian orang. Wenger adalah satu-satunya manajer yang bisa memberikan trofi Premier League buat Arsenal. Wenger juga menjadi manajer yang membuat Arsenal dikenal karena para pemain Prancisnya, juga karena para pemain mudanya.
Namun, satu hal yang membuatnya menyesakan adalah kian jelasnya kini wajah Premier League yang sebenarnya. Premier League kehilangan sosok yang menjaga bahwa proses adalah sesuatu yang dihormati dan dijunjung tinggi. Di Premier League kini, proses adalah basa-basi bereka. Pasalnya, para investor merasa kalau uang dari minyak bisa membeli segalanya.
Merci Arsene!
Mengenang Kembali Perseteruan Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger