Dons: Kata Keramat yang Merusak Milton Keynes

Undian ronde ketiga Piala Liga Inggris mempertemukan Totteham Hotspur dengan Watford. The Lilywhites ditunjuk sebagai tuan rumah pada laga yang akan diselenggarakan akhir September 2018 itu. Namun, masalah tengah menyelimuti kubu London Utara.

Tottenham harus menjalani pertandingan Piala Liga di luar White Hart Lane ataupun Wembley Stadium karena proses renovasi yang belum rampung. Tim arahan Mauricio Pochettino itu kemudian mengincar Stadium MK untuk menjadi kandang mereka lawan Watford.

“Kami tahu perjalanan ke Milton Keynes tidaklah ideal untuk beberapa suporter. Apalagi di tengah pekan. Tapi dengan bermain di tempat netral, kita mendapat 90% alokasi tiket. Sementara andai kata kita tandang ke Watford, suporter hanya akan mendapat 10% jatah tiket,” jelas pihak klub tentang keputusan mereka.

Stadium MK yang berjarak 80 kilometer dari White Hart Lane jadi pilihan terbaik klub. Sayangnya, hal itu ditolak oleh pihak suporter. Padahal perbedaan lokasi Stadium MK dan White Hart Lane tidaklah sejauh Stadion Patriot Chandrabaga dengan Sultan Agung. Jelas.

Suporter Tottenham tidak mempermasalahkan jarak. Tapi bagi mereka, Stadium MK tidak layak didatangani karena sejarahnya. “Kami menghargai keputusan dari pihak klub dan badan liga. Namun, mengingat sejarah MK Dons, kami hanya bisa menyarankan suporter Tottenham untuk tidak menghadiri pertandingan melawan Watford,” tulis Tottenham Hotspur Suporter Trust (THST).

MK Dons, klub kelahiran 2004 itu bisa disebut sebagai musuh utama suporter sepak bola di Inggris. Sama seperti RB Leipzig di Jerman. Pasalnya, mereka adalah klub siluman yang mencuri identitas salah satu tim kejutan terbaik dalam sejarah Inggris, Wimbledon FC.

Baca juga: Stadion Baru Tottenham Hotspur yang Memesona

Pemerintah dan Regulasi Stadion

Wimbledon FC menghabiskan mayoritas hidup mereka di liga amatir Inggris. Tapi pada 1980-an, The Dons mulai menginjak ranah profesional. Berhasil mengunci tiket promosi ke divisi tiga pada 1981, lima tahun kemudian, Wimbledon tiba di liga tertinggi sepak bola Inggris.

Dalam perjalananya, Wimbledon hanya sekali menjadi juara liga. 1982/1983, The Dons naik dari divisi empat Inggris –kini dikenal sebagai EFL National League- sebagai juara. Ungguli pesaing terdekat mereka, Hull City dengan selisih delapan poin.

Menjadi anak baru di divisi utama, tidak membuat Wimbledon gentar. Bermodal permainan yang keras dan berani, The Dons mengakhiri musim di posisi enam. Lebih tinggi dari Nottingham Forest dan Manchester United.

Setahun kemudian mereka mengejutkan publik dengan mengalahkan Liverpool di final Piala FA 1988 dengan skor 1-0. Dave Beasant menghentikan penalti dari John Aldridge dan sundulan Lawrie Sanchez gagal dihentikan Bruce Grobelaar.

Itu adalah puncak dari eksistensi Wimbledon FC. The Dons sebenarnya tidak pernah terdegradasi dari divisi utama. Mereka baru turun saat sepak bola Inggris sudah memasuki era Liga Premier (2000/2001).

Namun, Plough Lane, kandang mereka, tidak memenuhi standard liga. Aturan baru yang melarang tribun tanpa kursi membuat mereka harus mengungsi di Selhurst Park, kandang Crystal Palace sejak 1992/93.

Segala upaya untuk relokasi hanya berhenti di jalan buntu. Mulai dari ide untuk pindah ke Dublin yang ditolak oleh Asosiasi sepak bola Republik Irlandia, Wales, dan suporter. Sampai dengan izin pembangunan yang dicabut karena pergantian pemerintah daerah. Wimbledon tidak memiliki kandang selama delapan tahun di divisi tertinggi Inggris.

2002, Plough Lane diruntuhkan untuk jadi lokasi sebuah pasar swalayan. 2004, Wimbledon pindah ke Milton Keynes tanpa dukungan suporter. MK Dons lahir.

Baca juga: Uang Bukan Segalanya untuk Accrington Stanley

The Dons

MK Dons datang ke Milton Keynes memecah suporter Wimbledon. Sekalipun nama mereka tak lagi sama, MK Dons adalah Wimbledon FC yang pindah kota. Mereka yang menolak membangun AFC Wimbledon, sementara sisanya hijrah ke Milton Keynes.

Kepindahan ini sudah tak bisa dihindari karena Wimbledon bertahun-tahun tanpa rumah. MK Inter, sebuah konsorsium yang mengambil alih Wimbledon memilih identitas baru untuk klub. Sialnya, mereka masih menggunakan kata ‘Dons’ pada nama tersebut.

“Saya rasa MK Dons adalah nama yang merepresentasikan masa lalu, kini, dan depan bagi klub. Seperti saran FA, klub ini harus menjaga relasinya dengan tim terdahulu,” kata pimpinan klub, Pete Winkelman.

Winkelman mengakui memindahkan klub adalah sebuah kesalahan. Tapi dirinya mendapat dukungan dari mantan manajer MK Dons, Karl Robison. “Kita semua tahu bahwa klub ini lahir dengan kontroversi. Namun, di sini menjaga kestabilan adalah hal utama. Pasalnya jika MK Dons gagal, tim ini akan menjadi lelucon,” kata Robinson kepada Guardian.

Meski kini kembali ke divisi empat, MK Dons termasuk klub modern di Inggris. Mereka begitu paham untuk memaksimalkan teknologi dan memiliki beberapa posisi kunci di tim untuk hal ini.

Kapasitas MK Stadium (30.500) juga hampir dua kali lipat dari Plough Lane (15.800). Dipenuhi kursi, sesuai aturan federasi setelah tragedi Hillsborough. Sebuah bencana yang sebenarnya sudah mulai terlihat bahayanya sejak 1986, ketika Liverpool bentrok dengan Juventus. Saat itu kerusuhan terjadi dan tembok di tribun runtuh. 39 orang meninggal dunia dan 600 luka-luka. Tragedi Heysel-lah yang membuat Wimbledon tidak bisa tampil di Piala UEFA Cup 1987/88.

Sayangnya, seperti ditulis Jack Barnes, suporter MK di These Football Times, dengan kehadiran kata ‘Dons’, menjadi bumerang untuk Winkelman dan kolega. “Kata Dons adalah sebuah simbol kuno, relik. Ini kesalahan dari konsorsium, karena sejatinya kita [MK Dons] tidak memiliki koneksi dengan Wimbledon sebagai tim ataupun daerah.”

Baca juga: Apa yang Terjadi Saat Klub Terdegradasi?

Antitesis Kelompok Gila

AFC Wimbledon yang lebih dekat dengan tim terdahulunya hingga kini masih menggunakan julukan The Dons. Mereka memiliki cerita yang mirip dengan Wimbledon FC. Menghabiskan setengah dari eksistensi mereka di liga non-profesional, hingga kini ada League One atau divisi tiga Inggris.

MK Dons, sebagai klub yang tergolong muda, mematok standard mereka seperti klub-klub Liga Premier. “Kami ingin bermain seperti klub-klub Liga Premier. Dari segi kecepatan dan akurasi mungkin berbeda. Namun secara garis besar, kami ingin seperti mereka,” kata Winkelman kepada BBC.

“Kalian bisa melihat Manchester United, Chelsea, dan Tottenham. Cara bermain mereka berbeda. Tapi filosofi yang diterapkan sama. Kami ingin terbiasa dengan gaya sepak bola modern,” jelasnya.

Filosofi ini berlawanan dengan karakter Wimbledon FC yang lebih mengandalkan otot dibandingkan otak. Dennis Wise, Vinnie Jones, dan Lawrie Sanchez adalah pahlawan Wimbledon FC yang tergabung dalam ‘kelompok gila’ atau ‘The Crazy Gang’.

Baca juga: Membedah Perseteruan MK Dons dan AFC Wimbledon

Dave Motson seorang komentator dari BBC yang memberikan julukan tersebut kepada Wimbledon FC setelah mereka mengalahkan Liverpool di Piala FA. “The Crazy Gang have beaten The Culture Club!,” teriaknya saat peluit panjang.

Nama The Crazy Gang juga bukan karena mereka berhasil membuat kejutan yang di luar akal sehat. Tapi lebih karena mereka bermain seperti orang gila. Seperti ditulis oleh Tom McMahon dari These Football Times, “Wimbledon bermain sangat agresif. Mereka memaksimalkan bola-bola kilat dari belakang dan tidak takut melakukan pelanggaran”.

Sikut melayang, menghajar kaki lawan adalah hal yang biasa bagi Vinnie Jones dan kawan-kawan. Mantan bek Tottenham, Garry Stevens bahkan tak pernah pulih total dari jegalan Jones yang terjadi pada 1988. Hanya empat tahun setelah dijegal Jones, Stevens pensiun karena cedera.

Itu tentu bukan maksud Winkelman saat mengatakan ‘permainan modern’. Sial bagi Pete Winkelman, bagaimanapun mereka bertransformasi, kata ‘Dons’ akan selalu membuat MK menjadi musuh sepak bola Inggris. Sekalipun pihak AFC Wimbledon tak mengakui mereka sebagi rival.