Boros, Aston Villa Beda dengan Fulham

Foto: Football Whispers

Vakum mewarnai divisi tertinggi sepakbola Inggris selama tiga musim, Aston Villa kembali ke Premier League pada 2019/2020. Selama periode tersebut, banyak perubahan terjadi di dalam tubuh the Villans. Salah satunya adalah perubahan pemilik. Randy Lerner yang telah menguasai Aston Villa sejak 2006 resmi melepas kepemilikan klub ke pengusaha Tiongkok, Tony Xia jelang musim 2016/2017.

Meski harus menjalani awal yang buruk, perlahan Xia berhasil mengembalikan the Villans ke Premier League. Namun, ia tidak bergerak sendirian. Setelah dua tahun menjabat jadi presiden klub, Xia memberikan saham mayoritas kepada penguasaha Mesir, Nassef Sawiris.

Disokong pengusaha Mesir dan Tiongkok, Dean Smith selaku nakhoda tentu diberikan uang jajan yang besar. Bedasarkan data Transfermarkt hingga 1 Agustus 2019, tidak ada peserta Premier League yang mengeluarkan dana lebih besar dibandingkan the Villans pada musim panas 2019 (133,8 juta Pauns). Manchester City sebagai kesebelasan dengan dana belanja terbesar kedua bahkan belum sampai angka 85 juta Pauns.

Smith mendaratkan 12 muka baru ke Villa Park. Mulai dari penyerang asal Brasil, Wesley Moraes, bintang mesir di Piala Afrika 2019, Hassan Trezeguet, hingga Jota Peleteiro dari kubu rival, Birmingham City.

Aktivitas Aston Villa di musim panas 2019 membuat berbagai pihak teringat akan Fulham. Bagaimana the Cottagers menghabur-hamburkan uang pada musim 2018/2019 tapi tetap terdegradasi dari Premier League. Mulai dari Martin Laurence di Guardian, hingga Jon Prada yang menulis untuk Marca, mengangkat poin tersebut dalam artikel mereka.

Jika dicermati lagi, sejak 2014/2015 sudah ada tiga peraih tiket promosi Premier League yang harus kembali turun ke divisi dua, EFL Championship, setelah menjadi kesebelasan paling boros di bursa transfer: Fulham, Middlesbrough, dan Queens Park Rangers (QPR). Setidaknya lebih boros daripada dua kesebelasan lain yang naik bersama mereka. Tapi percayalah, Aston Villa tidak akan sama seperti mereka.

Fulham Melupakan Talenta Inggris

Foto: Club Call

Fulham menjadi kesebelasan yang paling diingat karena mereka adalah anggota terbaru dari kumpulan tersebut. Mendatangkan 15 pemain dengan dana melebihi 100 juta Pauns,

The Cottagers awalnya dipercaya dapat membuat kejutan di Premier League 2018/2019. Apalagi setelah mereka berhasil memenangkan tanda tangan Jean Michaël Seri yang juga diincar oleh FC Barcelona. Tapi pada kenyataannya, mereka mengakhiri musim di peringkat ke-19. Hanya lebih tinggi dari Huddersfield.

Menurut mantan kapten the Cottagers, Danny Murphy, rival Chelsea tersebut salah gerak selama bursa transfer. Meski banyak pemain yang mendarat, sedikit kegunaan mereka di Premier League. “Fulham lebih memilih pemain yang belum terbukti di Inggris. Luciano Vietto, Jean-Michael Sarri, mereka belum pernah merasakan kompetisi di sini. Schurrle yang punya pengalaman bersama Chelsea justru paling efektif,” kata Murphy.

Jika itu masalah utama Fulham, Dean Smith dan Aston Villa tidak akan merasakannya di 2019/2020. Pasalnya dari kumpulan pemain yang didatangkan Smith, tujuh di antaranya ditebus dari kesebelasan Inggris. Termasuk Tom Heaton, Matt Targett, dan Tyrone Mings yang sudah memiliki pengalaman di Premier League.

Ambisi Buta QPR

Foto: The Boot Room

Aston Villa selalu menjadi salah satu kesebelasan klasik di Inggris. Mereka bahkan dapat disebut sebagai raksasa yang tertidur mengingat sejarah dan berbagai prestasi yang diraih the Villans saat awal terbentuknya liga. Mereka bahkan mengangkat piala Liga Champions pada 1981-1982.

Meski demikian, para pemegang kekuasaan di Villa Park tidak memberikan target gila seperti Tony Fernandes di QPR. Mereka tahu bahwa Smith butuh waktu membangkitkan Aston Villa. Musim 2019/2020 pun dipilih menjadi masa-masa membangun fondasi.

“Kami pasti akan membicarakan perancangan tim sepanjang musim ini. Kami ingin memberi landasan untuk masa depan. Jika harus ada pemain yang harus pergi atau datang, itu tidak masalah. Selama mereka datang dengan kepastian akan bermain dan membantu tim,” jelas Direktur Eksekutif Aston Villa Christian Purslow.

“Banyak talenta berharga yang bisa didatangkan tanpa harus buang-buang uang. Talenta juga sebenarnya juga tidak cukup di sini. Pasalnya, kami juga mempertimbangkan sikap mereka. Bukan cuma talenta,” lanjutnya.

Saat QPR langsung mengincar kompetisi Eropa, main di Liga Champions, bahkan menjuarai Premier League, Aston Villa memilih jalur lambat.  Mereka tidak mendatangkan pemain tenar. Dibanding pemain seperti Rio Ferdinand yang uzur, Aston Villa memilih Kortney Hause, Tyrone Mings, dan Jota.

Mings dan Hause adalah bagian dari tim asuhan Smith yang berhasil menjuarai playoffs 2018/2019. Sementara Jota merupakan anak kesayangan Smith selama dirinya mengasuh Brentford. Dengan modal seperti itu, mereka tidak perlu terlalu lama untuk adaptasi. Justru bisa membantu pemain-pemain lain untuk lebih cepat terbiasa dengan pola Smith.

Terlalu Banyak Perubahan di Middlesbrough

Foto: Birmingham Mail

Ketika Middlesbrough promosi ke Premier League pada 2016/2017, mereka memiliki target yang sama dengan Aston Villa asuhan Smith. Tapi, Aitor Karanka yang mengasuh Boro saat itu terlalu banyak mengubah pemandangan di atas lapangan.

Alvaro Negredo, Marten de Roon, Adama Traore, Fabio, dan Victor Valdes, yang baru mendarat langsung diminta jadi tumpuan. Hasilnya, kestabilan yang mereka raih selama mengarungi Championship 2015/2016 pun hilang. Boro harus memulai dari awal dalam pembangunan tim mereka.

Hal ini sepertinya tidak akan terjadi di Aston Villa. Dari sekian banyak pemain yang datang, mungkin hanya Wesley, Heaton, dan Targett yang bisa langsung jadi pilihan utama. Wesley akan jadi pengganti Tammy Abraham. Sementara Heaton dan Targett sebenarnya memiliki saingan sepadan dalam diri Neil Taylor dan Jed Steer. Namun, pengalaman Premier League mungkin akan membantu mereka jadi pilihan utama.

Sedangkan Douglas Luiz dan Enzi Konsa yang sebenarnya memakan dana cukup besar untuk didaratkan sepertinya masih harus menunggu giliran. Smith sudah memiliki pemain yang cukup bisa dipercaya untuk mengisi pos mereka. John McGinn dan Conor Hourihane adalah senior Luiz di lini tengah. Konsa perlu belajar dari Mings dan James Chester.

Baik Luiz dan Konsa belum juga berusia 23 tahun. Jadi mungkin mereka adalah sosok yang disebut Purslow ketika membicarakan masa depan. Pada akhirnya, Aston Villa tidak akan bernasib sama dengan Fulham, QPR, ataupun Middlesbrough sekalipun jadi tim promosi paling boros di 2019/2020.

***

Lagipula, jika sejak 2014/2015 ada tiga tim promosi yang kembali terdegradasi setelah menghambur-hamburkan uang, artinya dua berhasil bertahan di divisi tertinggi Inggris. Mereka adalah Brighton & Hove Albion dan Watford. Alasannya sederhana, mereka tidak banyak mengubah komposisi, memiliki target realistis, dan memilih pemain-pemain yang tepat untuk mencapai hal itu. Aston Villa juga sama.